Oleh Maria Hartiningsih
Diskusi kanker payudara di Kompas beberapa waktu lalu merupakan diskusi sangat penting, khususnya menyangkut kesehatan reproduksi perempuan dan sangat terkait dengan masalah kesehatan masyarakat.
Data memperlihatkan, di Rumah Sakit Kanker Dharmais saja, dalam lima tahun terakhir (2003-2008), jumlah penderita kanker payudara meningkat tiga kali lipat. Jumlah itu bisa dilihat sebagai puncak gunung es, karena bisa jadi, kasus yang tidak dibawa ke rumah sakit, dengan alasan apa pun, jauh lebih banyak.
Sayangnya dalam diskusi itu, pendekatan kesehatan masyarakat hanya disinggung amat sekilas. Pendekatan lain, seperti pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, bahkan yang terkait dengan urusan medis seperti antropologi medik, sama sekali tidak disentuh.
Diskusi lebih didominasi oleh perspektif kedokteran, termasuk kemutlakan operasi dan kemoterapi untuk menyelamatkan penderita, serta segala upaya klinis untuk mengenali indikasi kanker payudara pada stadium paling awal.
Pendekatan itu, dari perspektif di luar medis, membuat tubuh ibarat medan pertempuran. Sel kanker dalam jumlah kecil tetapi sangat agresif, menyerbu dan mengalahkan sel-sel sehat, dan pasien dibombardir dengan sinar-sinar beracun.
Kemoterapi bisa dipandang sebagai perang kimia di dalam tubuh: musuh adalah ”Liyan” tak bernama yang harus dihancurkan. Tubuh menjadi sesuatu yang asing dari rasa kebertubuhan; suatu paradoks yang memisahkan dua yang sesungguhnya satu.
Mengobati tubuh dengan memisahkannya dari rasa kebertubuhan, mengutip pandangan Robert Augros, R & Stanciu G dalam The New Biology: Discovering the Wisdom in Nature (1987), membuat tubuh dipandang tak lebih dari kesatuan tatanan (unity of order), padahal makhluk hidup adalah kesatuan substansi (unity of subtance).
Kesatuan substansi tubuh manusia, seperti dijelaskan oleh dr Tan Shot Yen M.Hum (2009), memberi keunikan manusia dari tingkat mikromolekuler hingga makromolekuler dengan kekhasan DNA-nya, hemoglobin, enzim, protein yang mampu menandai pemilik tubuhnya (signature of its owner). Oleh karena itu, kerusakan salah satu organ tubuh manusia tidak semena-mena bisa diganti sebagaimana mengganti suku cadang mesin yang tak punya karakteristik.
Serba instan
Kehidupan masyarakat kontemporer yang menghendaki segala sesuatu serba instan membuat orang juga menghendaki kondisi sehat yang instan. Situasi itu membuat produsen obat dan suplemen tak sulit menjual produk-produk yang menjanjikan tubuh sehat. Jargon promosi yang menjanjikan ”kehidupan yang lebih baik” dan ”kesehatan yang paripurna” membuat manusia modern lebih menyandarkan masalah kesehatannya pada teknologi canggih ilmu kedokteran modern.
Bagi penderita, barangkali hal terpenting adalah sembuh dulu dan teknologi kedokteran modern dipandang solusi akhir. Namun, kesembuhan tanpa kesadaran tentang metode pemecahan masalah kesehatan yang menekankan pada ”bagaimana”, ketimbang ”mengapa”, akan membuat upaya keras dan mahal itu, bisa jadi, sia-sia.
Keprihatinan banyak praktisi kesehatan saat ini hanya sebatas tubuh yang tampak dan terlokalisasi pada organ tertentu, terpisah dari tubuh manusia yang dihadapinya, yang mempunyai proses kebertubuhan yang unik dan personal.
Dalam bukunya, Dari Mekanisasi sampai Medikalisasi: Tinjauan Kritis Pereduksian Tubuh Manusia dalam Praktik Medis (2009), dr Tan Shot Yen menyatakan, dunia kesehatan atau tepatnya ilmu kedokteran saat ini tidak membedakan tubuh dengan badan manusia yang tampak riil secara jasmaniah sehari-hari.
Dalam pengertian itu, tubuh seakan sistem tertutup yang tidak berinteraksi dengan lingkungannya, kecuali secara biologis. Filsafat abad ke-20, khususnya fenomenologi, melihat tubuh sebagaimana tubuh yang dialami dalam dunia bersama. Tubuh terbuka dan berinteraksi bukan hanya secara biologis dan psikologis, tetapi juga sosiologis-politis-kultural.
Sains modern sejak abad ke-17 yang melahirkan prinsip-prinsip mekanistik ternyata memengaruhi pendekatan manusia terhadap tubuhnya. Maka, ketika tubuh mengalami gangguan, pandangan mekanistik instrumentalis diterapkan ke dalam penatalaksanaan penanganan tubuh sehingga timbul istilah ”diobati” dan rekonstruksi persepsi manusia terhadap tubuhnya.
Lebih dari itu, berbagai penemuan baru dalam ilmu kedokteran, khususnya dalam upaya pencegahan meluasnya penyebaran penyakit menular, telah membuat intervensi atas tubuh seseorang berkembang menjadi tubuh masyarakat, yang termanipulasi dengan campur tangan tubuh politik, sebagai fenomena munculnya kekuasaan atas tubuh yang individual.
Tercerai-berai
Menarik juga disimak uraian penulis dan aktivis dari Amerika Serikat, Barbara Ehrenreich (2009), menyangkut perspektif feminis—perspektif yang senantiasa mengacu pada pengalaman otentik diri—dalam kontroversi deteksi dini kanker payudara. Dalam tulisannya, ia mempertanyakan mengapa gerakan feminis kurang punya perhatian pada masalah kesehatan reproduksi dalam pengertian yang lebih medis-teknis.
Barbara, yang dideteksi kanker payudara stadium dua pada usia 59 tahun, menyatakan, deteksi dini dan mamografi rutin pada perempuan di bawah usia 50 tahun dan di atas usia itu ternyata tidak secara signifikan mengurangi kematian akibat kanker.
Ia mengalami seluruh upaya pengobatan medis, dan sangsi apakah radiasi dan kemoterapi akan menghancurkan sel-sel kanker, kalau justru radiasi berpotensi menyebabkan mutasi genetik dari sel-sel sehat menjadi sel kanker. Pernyataan itu bisa dibaca terbalik: mengapa pendekatan pengobatan tidak mengacu pada penguatan sel-sel sehat yang jumlahnya jauh lebih besar agar bisa menundukkan sel-sel agresif itu.
Barbara juga mempertanyakan satu hal penting yang tampaknya tak banyak diperhatikan: apakah lingkungan atau kemungkinan gaya hidup yang menyebabkan epidemi kanker payudara.
Sebagai ahli biologi sel, Barbara tampaknya menyadari bahwa pendekatan reduksionisme telah membuat manusia tercerai-berai dari keutuhannya sebagai ”the living being”.
Ia tampaknya juga mempertimbangkan pandangan pakar biologi François Jacob (1987), bahwa ”the living being” tak hanya mampu memperbarui jaringannya, tetapi juga mampu mereparasi diri hingga tahap tertentu tanpa membutuhkan bantuan eksternal. Dengan kata lain, ”the living being”, mengutip dr Tan, punya sifat self healing, self preparing, dan self regenerating.
Pendekatan reduksionis membuat orang lupa bahwa situasi internal di dalam diri dan kondisi eksternal (di luar tubuh) mempunyai hubungan kesalingan. Kesehatan sel-sel di dalam tubuh bergantung pada kondisi keduanya. Ini mencakup konsumsi sehari-hari—teknologi telah menghasilkan begitu banyak produk konsumsi yang tidak sehat karena rantai produksinya semakin jauh dari material asal yang dihasilkan alam.
Selain itu juga mencakup soal hubungan-hubungan; baik antarmanusia, khususnya dengan orang-orang terdekat, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan Sang Pencipta.
Sehat bukan sekadar tidak adanya penyakit, begitu ditegaskan dr Tan Shot Yen dalam bukunya, Saya Pilih Sehat dan Sembuh (2009). Gaya hidup sehat mengisyaratkan kesehatan menyeluruh; mencakup lingkungan alam yang sehat, lingkungan hidup yang sehat, makanan yang sehat, lingkungan sosial yang sehat (termasuk hubungan antarmanusia yang sehat), pikiran yang sehat dan kondisi jiwa yang sehat. Dengan begitu, pendekatan kesehatan dan pengobatan berbasis teknologi kedokteran modern saja rasanya masih jauh dari cukup.
Sumber: KOMPAS Online | 15 januari 2010
Diskusi kanker payudara di Kompas beberapa waktu lalu merupakan diskusi sangat penting, khususnya menyangkut kesehatan reproduksi perempuan dan sangat terkait dengan masalah kesehatan masyarakat.
Data memperlihatkan, di Rumah Sakit Kanker Dharmais saja, dalam lima tahun terakhir (2003-2008), jumlah penderita kanker payudara meningkat tiga kali lipat. Jumlah itu bisa dilihat sebagai puncak gunung es, karena bisa jadi, kasus yang tidak dibawa ke rumah sakit, dengan alasan apa pun, jauh lebih banyak.
Sayangnya dalam diskusi itu, pendekatan kesehatan masyarakat hanya disinggung amat sekilas. Pendekatan lain, seperti pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, bahkan yang terkait dengan urusan medis seperti antropologi medik, sama sekali tidak disentuh.
Diskusi lebih didominasi oleh perspektif kedokteran, termasuk kemutlakan operasi dan kemoterapi untuk menyelamatkan penderita, serta segala upaya klinis untuk mengenali indikasi kanker payudara pada stadium paling awal.
Pendekatan itu, dari perspektif di luar medis, membuat tubuh ibarat medan pertempuran. Sel kanker dalam jumlah kecil tetapi sangat agresif, menyerbu dan mengalahkan sel-sel sehat, dan pasien dibombardir dengan sinar-sinar beracun.
Kemoterapi bisa dipandang sebagai perang kimia di dalam tubuh: musuh adalah ”Liyan” tak bernama yang harus dihancurkan. Tubuh menjadi sesuatu yang asing dari rasa kebertubuhan; suatu paradoks yang memisahkan dua yang sesungguhnya satu.
Mengobati tubuh dengan memisahkannya dari rasa kebertubuhan, mengutip pandangan Robert Augros, R & Stanciu G dalam The New Biology: Discovering the Wisdom in Nature (1987), membuat tubuh dipandang tak lebih dari kesatuan tatanan (unity of order), padahal makhluk hidup adalah kesatuan substansi (unity of subtance).
Kesatuan substansi tubuh manusia, seperti dijelaskan oleh dr Tan Shot Yen M.Hum (2009), memberi keunikan manusia dari tingkat mikromolekuler hingga makromolekuler dengan kekhasan DNA-nya, hemoglobin, enzim, protein yang mampu menandai pemilik tubuhnya (signature of its owner). Oleh karena itu, kerusakan salah satu organ tubuh manusia tidak semena-mena bisa diganti sebagaimana mengganti suku cadang mesin yang tak punya karakteristik.
Serba instan
Kehidupan masyarakat kontemporer yang menghendaki segala sesuatu serba instan membuat orang juga menghendaki kondisi sehat yang instan. Situasi itu membuat produsen obat dan suplemen tak sulit menjual produk-produk yang menjanjikan tubuh sehat. Jargon promosi yang menjanjikan ”kehidupan yang lebih baik” dan ”kesehatan yang paripurna” membuat manusia modern lebih menyandarkan masalah kesehatannya pada teknologi canggih ilmu kedokteran modern.
Bagi penderita, barangkali hal terpenting adalah sembuh dulu dan teknologi kedokteran modern dipandang solusi akhir. Namun, kesembuhan tanpa kesadaran tentang metode pemecahan masalah kesehatan yang menekankan pada ”bagaimana”, ketimbang ”mengapa”, akan membuat upaya keras dan mahal itu, bisa jadi, sia-sia.
Keprihatinan banyak praktisi kesehatan saat ini hanya sebatas tubuh yang tampak dan terlokalisasi pada organ tertentu, terpisah dari tubuh manusia yang dihadapinya, yang mempunyai proses kebertubuhan yang unik dan personal.
Dalam bukunya, Dari Mekanisasi sampai Medikalisasi: Tinjauan Kritis Pereduksian Tubuh Manusia dalam Praktik Medis (2009), dr Tan Shot Yen menyatakan, dunia kesehatan atau tepatnya ilmu kedokteran saat ini tidak membedakan tubuh dengan badan manusia yang tampak riil secara jasmaniah sehari-hari.
Dalam pengertian itu, tubuh seakan sistem tertutup yang tidak berinteraksi dengan lingkungannya, kecuali secara biologis. Filsafat abad ke-20, khususnya fenomenologi, melihat tubuh sebagaimana tubuh yang dialami dalam dunia bersama. Tubuh terbuka dan berinteraksi bukan hanya secara biologis dan psikologis, tetapi juga sosiologis-politis-kultural.
Sains modern sejak abad ke-17 yang melahirkan prinsip-prinsip mekanistik ternyata memengaruhi pendekatan manusia terhadap tubuhnya. Maka, ketika tubuh mengalami gangguan, pandangan mekanistik instrumentalis diterapkan ke dalam penatalaksanaan penanganan tubuh sehingga timbul istilah ”diobati” dan rekonstruksi persepsi manusia terhadap tubuhnya.
Lebih dari itu, berbagai penemuan baru dalam ilmu kedokteran, khususnya dalam upaya pencegahan meluasnya penyebaran penyakit menular, telah membuat intervensi atas tubuh seseorang berkembang menjadi tubuh masyarakat, yang termanipulasi dengan campur tangan tubuh politik, sebagai fenomena munculnya kekuasaan atas tubuh yang individual.
Tercerai-berai
Menarik juga disimak uraian penulis dan aktivis dari Amerika Serikat, Barbara Ehrenreich (2009), menyangkut perspektif feminis—perspektif yang senantiasa mengacu pada pengalaman otentik diri—dalam kontroversi deteksi dini kanker payudara. Dalam tulisannya, ia mempertanyakan mengapa gerakan feminis kurang punya perhatian pada masalah kesehatan reproduksi dalam pengertian yang lebih medis-teknis.
Barbara, yang dideteksi kanker payudara stadium dua pada usia 59 tahun, menyatakan, deteksi dini dan mamografi rutin pada perempuan di bawah usia 50 tahun dan di atas usia itu ternyata tidak secara signifikan mengurangi kematian akibat kanker.
Ia mengalami seluruh upaya pengobatan medis, dan sangsi apakah radiasi dan kemoterapi akan menghancurkan sel-sel kanker, kalau justru radiasi berpotensi menyebabkan mutasi genetik dari sel-sel sehat menjadi sel kanker. Pernyataan itu bisa dibaca terbalik: mengapa pendekatan pengobatan tidak mengacu pada penguatan sel-sel sehat yang jumlahnya jauh lebih besar agar bisa menundukkan sel-sel agresif itu.
Barbara juga mempertanyakan satu hal penting yang tampaknya tak banyak diperhatikan: apakah lingkungan atau kemungkinan gaya hidup yang menyebabkan epidemi kanker payudara.
Sebagai ahli biologi sel, Barbara tampaknya menyadari bahwa pendekatan reduksionisme telah membuat manusia tercerai-berai dari keutuhannya sebagai ”the living being”.
Ia tampaknya juga mempertimbangkan pandangan pakar biologi François Jacob (1987), bahwa ”the living being” tak hanya mampu memperbarui jaringannya, tetapi juga mampu mereparasi diri hingga tahap tertentu tanpa membutuhkan bantuan eksternal. Dengan kata lain, ”the living being”, mengutip dr Tan, punya sifat self healing, self preparing, dan self regenerating.
Pendekatan reduksionis membuat orang lupa bahwa situasi internal di dalam diri dan kondisi eksternal (di luar tubuh) mempunyai hubungan kesalingan. Kesehatan sel-sel di dalam tubuh bergantung pada kondisi keduanya. Ini mencakup konsumsi sehari-hari—teknologi telah menghasilkan begitu banyak produk konsumsi yang tidak sehat karena rantai produksinya semakin jauh dari material asal yang dihasilkan alam.
Selain itu juga mencakup soal hubungan-hubungan; baik antarmanusia, khususnya dengan orang-orang terdekat, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan Sang Pencipta.
Sehat bukan sekadar tidak adanya penyakit, begitu ditegaskan dr Tan Shot Yen dalam bukunya, Saya Pilih Sehat dan Sembuh (2009). Gaya hidup sehat mengisyaratkan kesehatan menyeluruh; mencakup lingkungan alam yang sehat, lingkungan hidup yang sehat, makanan yang sehat, lingkungan sosial yang sehat (termasuk hubungan antarmanusia yang sehat), pikiran yang sehat dan kondisi jiwa yang sehat. Dengan begitu, pendekatan kesehatan dan pengobatan berbasis teknologi kedokteran modern saja rasanya masih jauh dari cukup.
Sumber: KOMPAS Online | 15 januari 2010
Post a Comment