Tidak ada obat yang menarik imajinasi publik sejak orang tergila-gila pada interferon pada awal 1980-an sedemikian rupa seperti pada STI571 buatan Novartis. Dengan nama dagang GleevecTM, obat ini memenangkan persetujuan US Food and Drug Administration pada tanggal 10 Mei untuk mengobati leukemia myeloid kronik setelah penilaian yang sangat singkat selama 2 ½ bulan.
Jaringan TV menayangkan liputan khusus dan liputan utama majalah Time mengangkat obat ini. Ketua American Society of Clinical Oncology Larry Norton MD, dalam New York Times menyebut bahwa STI571 adalah "awal dari suatu perubahan besar - dan saya berkata secara konservatif - dalam hal kita melakukan praktek kedokteran."
Efektivitas obat ini sangat mengagumkan. Dalam uji fase I, 98% pasien dengan leukemia myeloid kronik (LMK) mencapai respons hematologik komplit, dan hasil fase II hampir-hampir mengejutkan. Di seluruh Amerika, hanya 4500 orang yang mengalami LMK per tahun. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah kanker yang lebih umum juga dapat berespons terhadap obat seperti STI571, ataukah STI571 untuk LMK hanya sukses sekali saja?
Alasan utama keraguan tersebut adalah karena LMK disebabkan kelainan genetik tunggal - yaitu translokasi kromosom Philadelphia yang menghasilkan protein fusi Bcr-Abl. Sasaran STI571 pada Bcr-Abl terbukti efektif, namun kanker-kanker lain, yang lebih lazim dijumpai, biasanya melibatkan berbagai perubahan genetik, sehingga menyebabkan banyak abnormalitas yang mengakibatkan tidak terkendalinya pertumbuhan sel.
Oleh karena itu, mungkin dibutuhkan obat-obatan lain secara terpisah yang ditujukan untuk setiap kelainan dan digunakan dalam kombinasi yang benar. Terapi kompleks semacam itu mungkin membutuhkan berpuluh-puluh tahun untuk berkembang. Mungkinkah ada obat yang sedang dalam perjalanan untuk bekerja dengan baik melawan kanker payudara, kanker prostat, kanker paru-paru dan kanker kolon?
"Saya berani mengatakan bahwa jawabannya adalah ya, dengan kualifikasi tertentu," kata Dr. Charles Sawyers dari Jonsson Comprehensive Cancer Center di University of California, Los Angeles. Pertama, kata Sawyers, kita harus mengidentifikasi alur-alur pensinyalan (signaling pathways) yang mengarah pada berbagai kanker. "Mungkin ada 5 jenis atau lebih kanker prostat yang berbeda," ia meramalkan, "masing-masing dicetuskan oleh alur pensinyalan atau kejadian genetik yang berbeda."
Sebagai contoh, EGF - epidermal growth factor - adalah suatu reseptor tirosin kinase yang berperan alam berbagai kanker seperti payudara dan prostat. "Suatu obat yang baik untuk reseptor EGF mungkin akan mempunyai angka respons yang besar - bila anda dapat mengidentifikasi pasien yang tepat," katanya. Beberapa inhibitor reseptor EGF saat ini sedang memasuki tahap akhir uji klinik fase III.
Sawyers berpendapat bahwa para peneliti harus mulai dari identifikasi fenotipe masing-masing kanker secara molekuler untuk meramalkan pasien mana yang akan berespons terhadap suatu obat. "Saya kira semua mengetahui hal ini, mereka hanya tidak mau mengakuinya," ia melanjutkan. Herceptin misalnya, biasanya hanya diberikan pada penderita kanker payudara yang menunjukkan (dengan pulasan imunohistokimia) ekspresi berlebihan (overexpression) reseptor Her2/neu.
Namun berbagai kinase lain dipicu tidak hanya oleh overexpression. Sistem EGF umpamanya, juga melibatkan heterodimerisasi, mutasi reseptor dan aktivasi autokrin/ parakrin oleh ligan-ligan ganda. Untuk memprediksi pasien mana yang akan berespons terhadap obat-obatan bersasaran EGF, khususnya dalam bentuk terapi kombinasi, "akan membutuhkan pengalaman klinis yang banyak," kata Nick Lydon, PhD, wakil ketua penemuan obat molekul kecil di Amgen Inc, Thousand Oaks, California.
Karena alasan itulah, Sawyers mengajak melakukan penelitian yang lebih canggih, dengan melibatkan berbagai assay untuk mengukur status aktivasi reseptor. Namun petanda-petanda yang paling prediktif untuk respons pasien masih belum diketahui. "Kita hanya tidak dapat menggunakan hasil umum dari percobaan-percobaan tersebut," Sawyers mengakui. Kita harus mengambil jaringan pasien yang akan menjalani uji-uji tersebut, sehingga kita dapat mengetahui jawabannya."
Beberapa ahli onkologi klinik sudah memulainya. Charles Blanke, MD dari Oregon Health Sciences University, Portland, melaporkan hasil dramatis pada pertemuan tahunan ASCO terakhir mengenai uji fase II pada pasien dengan gastrointestinal stromal tumors (GIST), tumor padat yang jarang namun sangat agresif, yang diobati dengan STI571. Respons secara keseluruhan adalah 59% dan membutuhkan waktu.
Blanke melakukan typing pada masing-masing pasien untuk mutasi gen c-Kit, tirosin kinase yang memicu GIST. "Aktivasi mutasi di ekson 11 sangat kuat meramalkan respons (terhadap STI571)," ia melaporkan.
Namun demikian, pengumpulan informasi semacam ini merupakan kerja berat yang kerap membutuhkan banyak biopsi tumor, sehingga tidak selalu dilakukan, kata Sawyers. Tetapi, ia menekankan bahwa itu harus dilakukan. "Barangkali kita harus berpidato di depan para ahli onkologi atau kepada para peneliti farmasi," kata Sawyers. "Bila para ahli onkologi berkata (kepada perusahaan obat), "Kamu harus melakukannya dengan cara ini,' mereka akan melakukannya."
Sumber: Novertis
Post a Comment