Wallahualalam!
Menurut peneliti, harapan hidup penderita kanker payudara di Indonesia saat ini terbilang rendah, yakni hanya sekitar 24%. Tapi tentu saja ini bagi mereka yang sudah masuk ke dalam kategori yang dalam istilah medis disebut III-B.
Para ahli bedah kanker pada pertemuan di Hotel Holiday Inn, Bandung, beberapa waktu lalu mencanangkan tekad untuk mendongkraknya menjadi 50%. Target yang lumayan muluk dilandasi optimisme munculnya obat antibodi bernama: trastuzumab.
Dari beberapa studi, obat ini dianggap lebih efektif ketimbang operasi dan kemoterapi. Meski belum ada data resmi, namun disebutkan bahwa di negeri ini kanker payudara menempati urutan kedua setelah kanker leher rahim. Rata-rata menyerang 10 dari 100.000 wanita. Tapi dalam soal membunuh, kata Drajat Ryanto Suardi - ahli bedah kanker di RS Hasan Sadikin, Bandung - kanker payudara ini menjadi ''setan'' nomor satu bagi wanita.
Sedangkan di tingkat dunia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 8%-9% wanita di seluruh dunia akan terserang penyakit mematikan ini setiap tahunnya. Persisnya, jumlah penderita kanker payudara akan bertambah sekitar 7 juta kasus. Survei terakhir menunjukkan, tiap tiga menit ditemukan satu kasus baru kanker payudara dan setiap 11 menit ditemukan seorang wanita meninggal akibat kanker payudara.
Total jenderal, menurut WHO setiap tahun ada 700.000 wanita di seluruh dunia yang meninggal karena penyakit ini. Di Amerika Serikat sekitar 175.000 kasus baru muncul setiap tahun. Sedangkan di daratan Eropa rata-rata muncul 25.000 pasien baru per-tahun. Belum jelas berapa laki-laki dan berapa wanita di antaranya. Ronald Hukom, ahli kanker payudara dari RS Kanker Dharmais, Slipi, Jakarta Barat, menyebutkan banyak laki-laki yang tak luput dari serangan kanker payudara. Menurutnya, satu dari seratus pasien adalah pria. Bahkan serangannya lebih ganas dan sulit disembuhkan. Sepanjang pengetahuannya, tidak ada pasien laki-laki yang mampu bertahan hidup!
Yang mengenaskan, banyak penderita kanker ini terlambat berobat ke dokter, ''Mereka datang ketika kankernya sudah parah, atau sudah mencapai stadium III dan IV,'' ujarnya pada jumpa pers Herceptin yang bergenerik trastuzumab di Hotel Holiday Inn, Dago, Bandung. Itu berarti sel-sel kankernya sudah ganas dan menyebar ke organ-organ tubuh lain. Bila sudah parah, biasanya dokter cuma memberi pengobatan kemoterapi. Harapan hidupnyapun makin pendek.
Sekedar contoh, Ronald memaparkan tentang pasien yang masuk ke RS. Dharmais pada 1993-1996 - sayang ia tak mengantongi data terkini - disebutkan sebanyak 26 pasien atau 19,1% pasien kanker payudara yang datang sudah berada pada stadium III-B di mana sel kankernya sudah menyebar ke organ-organ lain tubuhnya. Dalam kondisi tersebut, ia memperkirakan peluang hidup sampai lima tahun pasien hanya 20%. Mereka cuma bisa bertahan selama tiga tahun tiga bulan. Adapun 24 pasien lainya datang ketika masih dalam taraf stadium II sehingga memiliki peluang bertahan hidup sampai lima tahun sebanyak 82%.
Kondisi ini bertolak belakang dengan pasien-pasien di negara maju. Tingkat kesadarannya tinggi. Begitu mengetahui ada kelainan di payudaranya, mereka langsung memeriksakan diri. Sebanyak 80% kasus pasien kanker yang dibawa ke dokter masih dalam taraf stadium dini. Tidak mengherankan jika harapan hidup merekapun lebih tinggi. Banyak sebab mengapa para wanita Indonesia yang mengidap kanker payudara terlambat berobat. Pada stadium awal, biasanya kanker ini tidak tampak jelas di mata. Apalagi jika benjolannya masih sekitar 2 cm. Tidak akan terlihat jelas. Biasanya mereka baru berobat setelah benjolannya sudah membesar seukuran bola tennis. Itu artinya sudah memasuki stadium III. Penyebab lainnya adalah karena faktor ekonomi. Para pasien ngeri membayangkan biaya pengobatannya yang terbilang tidak sedikit.
Untuk tahap pertama saja pasien harus dijejali biaya operasi pengangkatan tumor yang bisa menghabiskan sampai belasan jutaan rupiah. Setelah itu mereka harus menjalani penyinaran di lokasi sekitar organ yang diangkat. Penyinaran ini biasanya lebih dari 15 kali yang juga tidak kalah deras menguras isi dompet. Bila beum OK, pasien masih harus menjalani kemoterapi. Harga obat kemoterapi ini saja sekali suntik bisa mencapai Rp 2 juta lebih, belum biaya pelayanan dan penanganan medis yang menyertainya. Sedangkan kemoterapi ini harus dilakukan sampai belasan kali. Alasan lain bisa juga karena takut, seperti yang menimpa sebut saja Ibu Ratih - bukan nama sebenarnya.
Ketika didiagnosis bahwa payudara kanannya kena kanker pada tahun 1983, warga Depok, Jawa Barat, ini cuma berani melakukan mastektomi (angkat payudara) saja. Tapi ia takut menjalani proses penyinaran dan kemoterapi. ''Ibu saya lebih suka melakukan tusuk jarum di sebuah klinik di Rawamangun,'' kata putrinya Ajeng - juga bukan nama asli.
Selama belasan tahun kankernya memang berjhasil ''ditidurkan'' oleh perawatan akupunktur yang rutin dijalaninya. Namun, setelah sang ahli akupunktur meninggal dunia dan tak bisa dilanjutkan oleh penggantinya, Ibu Ratih mulai panik. Ia mencoba berbagai macam pengobatan alternatif, termasuk reiki. Iapun rajin mengonsumsi kunir yang konon bisa membasmi sel-sel tumor dan tetap bertahan menolak pengobatan modern.
Kemudian datang peristiwa tak menguntungkan: rumahnya kemalingan. Puluhan gram emas simpanannya ikut ludes diboyong maling. Apesnya, hal itu terjadi justru tak lama setelah ia pensiun dari jabatannya sebagai kepala sekolah di salahsatu SMP di Jakarta Selatan. ''Sejak itu, benjolan mulai tumbuh di payudara kirinya,'' kata Ajeng. “Tubuhnya kini kurus dan nafsu makannya hilang. Jalan pun musti dipapah. Jiwanya mulai goyah dan sangat mudah tersinggung. Jika saya tak berkunjung setiap akhir pekan, ia akan marah besar!'' kata Ajeng sedih.
Ketakutan menjalani terapi modern memang beralasan. Penyinaran radiasi mempunyai efek samping merusak sel-sel normal di daerah yang disinari. Penderitapun akan merasakan mual hebat selama pengobatan. Begitu pula dengan kemoterapi. Akibat negatifnya bisa membuat lemas, pusing berkepanjangan, muntah-muntah, sariawan, rambut rontok dan masih banyak lagi.
Karena kemoterapi bekerja dengan lebih dulu menekan sistem kekebalan tubuh penderita, maka banyak pasien yang justru menjadi rentan terhadap berbagai penyakit lain. Oleh karenanya pengawasan ketat dari dokter menjadi sangat penting. Maka wajarlah apabila banyak pasien yang berusaha menghindari terapi menyakitkan ini.
Mereka mulai melirik terapi yang lebih aman dan berefek samping ringan, seperti terapi antibodi atau terapi gen. Pabrik farmasipun mulai ramai-ramai memburu obat baru, baik membeli hak paten penelitian yang sudah jadi ataupun mengembangkan riset sendiri. Perburuan itu makin kencang menyusul habisnya hak paten sejumlah obat.
Sebut saja Nolvadex, obat kanker payudara tamoxifen produksi Astra Zeneca Plc, London, Inggris, sudah berakhir sejak Februari tahun lalu. Begitu pula obat kanker payudara dan ovarium carboplatin buatan Bristol Myers-Squibb, Amerika Serikat. Juga akan habis masa hak patennya tahun ini.
Pabrik obat Indonesia tak ketinggalan ikut berburu. Dexa Medica, misalnya, malah sudah menjalin kerja sama dengan Reddy's Laboratories, Hyderabad India. Kerja sama tadi ditandatangani 1 Juli tahun lalu di Jakarta. Ferry Sutikno, Managing Director Dexa Medica Group, mengatakan bahwa pihaknya akan membuat tujuh macam obat kanker, di antaranya kanker payudara, kolon, paru-paru, dan prostat.
''Mudah-mudahan tahun ini sudah bisa diproduksi, tentunya setelah izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, keluar!'' katanya kepada beberapa orang wartawan. Bila sudah berproduksi, Ferry memperkirakan ongkos pengobatan yang semula Rp 40 juta bisa ditekan sampai menjadi sekitar jadi Rp 5 juta. Bila benar demikian, tentu tidak hanya lebih murah, tetapi harus lebih manjur.
Sumber: Aries Kelana, Amalia K. Mala, Nurul Fitriyah (Surabaya) dan Gatra Online
Menurut peneliti, harapan hidup penderita kanker payudara di Indonesia saat ini terbilang rendah, yakni hanya sekitar 24%. Tapi tentu saja ini bagi mereka yang sudah masuk ke dalam kategori yang dalam istilah medis disebut III-B.
Para ahli bedah kanker pada pertemuan di Hotel Holiday Inn, Bandung, beberapa waktu lalu mencanangkan tekad untuk mendongkraknya menjadi 50%. Target yang lumayan muluk dilandasi optimisme munculnya obat antibodi bernama: trastuzumab.
Dari beberapa studi, obat ini dianggap lebih efektif ketimbang operasi dan kemoterapi. Meski belum ada data resmi, namun disebutkan bahwa di negeri ini kanker payudara menempati urutan kedua setelah kanker leher rahim. Rata-rata menyerang 10 dari 100.000 wanita. Tapi dalam soal membunuh, kata Drajat Ryanto Suardi - ahli bedah kanker di RS Hasan Sadikin, Bandung - kanker payudara ini menjadi ''setan'' nomor satu bagi wanita.
Sedangkan di tingkat dunia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 8%-9% wanita di seluruh dunia akan terserang penyakit mematikan ini setiap tahunnya. Persisnya, jumlah penderita kanker payudara akan bertambah sekitar 7 juta kasus. Survei terakhir menunjukkan, tiap tiga menit ditemukan satu kasus baru kanker payudara dan setiap 11 menit ditemukan seorang wanita meninggal akibat kanker payudara.
Total jenderal, menurut WHO setiap tahun ada 700.000 wanita di seluruh dunia yang meninggal karena penyakit ini. Di Amerika Serikat sekitar 175.000 kasus baru muncul setiap tahun. Sedangkan di daratan Eropa rata-rata muncul 25.000 pasien baru per-tahun. Belum jelas berapa laki-laki dan berapa wanita di antaranya. Ronald Hukom, ahli kanker payudara dari RS Kanker Dharmais, Slipi, Jakarta Barat, menyebutkan banyak laki-laki yang tak luput dari serangan kanker payudara. Menurutnya, satu dari seratus pasien adalah pria. Bahkan serangannya lebih ganas dan sulit disembuhkan. Sepanjang pengetahuannya, tidak ada pasien laki-laki yang mampu bertahan hidup!
Yang mengenaskan, banyak penderita kanker ini terlambat berobat ke dokter, ''Mereka datang ketika kankernya sudah parah, atau sudah mencapai stadium III dan IV,'' ujarnya pada jumpa pers Herceptin yang bergenerik trastuzumab di Hotel Holiday Inn, Dago, Bandung. Itu berarti sel-sel kankernya sudah ganas dan menyebar ke organ-organ tubuh lain. Bila sudah parah, biasanya dokter cuma memberi pengobatan kemoterapi. Harapan hidupnyapun makin pendek.
Sekedar contoh, Ronald memaparkan tentang pasien yang masuk ke RS. Dharmais pada 1993-1996 - sayang ia tak mengantongi data terkini - disebutkan sebanyak 26 pasien atau 19,1% pasien kanker payudara yang datang sudah berada pada stadium III-B di mana sel kankernya sudah menyebar ke organ-organ lain tubuhnya. Dalam kondisi tersebut, ia memperkirakan peluang hidup sampai lima tahun pasien hanya 20%. Mereka cuma bisa bertahan selama tiga tahun tiga bulan. Adapun 24 pasien lainya datang ketika masih dalam taraf stadium II sehingga memiliki peluang bertahan hidup sampai lima tahun sebanyak 82%.
Kondisi ini bertolak belakang dengan pasien-pasien di negara maju. Tingkat kesadarannya tinggi. Begitu mengetahui ada kelainan di payudaranya, mereka langsung memeriksakan diri. Sebanyak 80% kasus pasien kanker yang dibawa ke dokter masih dalam taraf stadium dini. Tidak mengherankan jika harapan hidup merekapun lebih tinggi. Banyak sebab mengapa para wanita Indonesia yang mengidap kanker payudara terlambat berobat. Pada stadium awal, biasanya kanker ini tidak tampak jelas di mata. Apalagi jika benjolannya masih sekitar 2 cm. Tidak akan terlihat jelas. Biasanya mereka baru berobat setelah benjolannya sudah membesar seukuran bola tennis. Itu artinya sudah memasuki stadium III. Penyebab lainnya adalah karena faktor ekonomi. Para pasien ngeri membayangkan biaya pengobatannya yang terbilang tidak sedikit.
Untuk tahap pertama saja pasien harus dijejali biaya operasi pengangkatan tumor yang bisa menghabiskan sampai belasan jutaan rupiah. Setelah itu mereka harus menjalani penyinaran di lokasi sekitar organ yang diangkat. Penyinaran ini biasanya lebih dari 15 kali yang juga tidak kalah deras menguras isi dompet. Bila beum OK, pasien masih harus menjalani kemoterapi. Harga obat kemoterapi ini saja sekali suntik bisa mencapai Rp 2 juta lebih, belum biaya pelayanan dan penanganan medis yang menyertainya. Sedangkan kemoterapi ini harus dilakukan sampai belasan kali. Alasan lain bisa juga karena takut, seperti yang menimpa sebut saja Ibu Ratih - bukan nama sebenarnya.
Ketika didiagnosis bahwa payudara kanannya kena kanker pada tahun 1983, warga Depok, Jawa Barat, ini cuma berani melakukan mastektomi (angkat payudara) saja. Tapi ia takut menjalani proses penyinaran dan kemoterapi. ''Ibu saya lebih suka melakukan tusuk jarum di sebuah klinik di Rawamangun,'' kata putrinya Ajeng - juga bukan nama asli.
Selama belasan tahun kankernya memang berjhasil ''ditidurkan'' oleh perawatan akupunktur yang rutin dijalaninya. Namun, setelah sang ahli akupunktur meninggal dunia dan tak bisa dilanjutkan oleh penggantinya, Ibu Ratih mulai panik. Ia mencoba berbagai macam pengobatan alternatif, termasuk reiki. Iapun rajin mengonsumsi kunir yang konon bisa membasmi sel-sel tumor dan tetap bertahan menolak pengobatan modern.
Kemudian datang peristiwa tak menguntungkan: rumahnya kemalingan. Puluhan gram emas simpanannya ikut ludes diboyong maling. Apesnya, hal itu terjadi justru tak lama setelah ia pensiun dari jabatannya sebagai kepala sekolah di salahsatu SMP di Jakarta Selatan. ''Sejak itu, benjolan mulai tumbuh di payudara kirinya,'' kata Ajeng. “Tubuhnya kini kurus dan nafsu makannya hilang. Jalan pun musti dipapah. Jiwanya mulai goyah dan sangat mudah tersinggung. Jika saya tak berkunjung setiap akhir pekan, ia akan marah besar!'' kata Ajeng sedih.
Ketakutan menjalani terapi modern memang beralasan. Penyinaran radiasi mempunyai efek samping merusak sel-sel normal di daerah yang disinari. Penderitapun akan merasakan mual hebat selama pengobatan. Begitu pula dengan kemoterapi. Akibat negatifnya bisa membuat lemas, pusing berkepanjangan, muntah-muntah, sariawan, rambut rontok dan masih banyak lagi.
Karena kemoterapi bekerja dengan lebih dulu menekan sistem kekebalan tubuh penderita, maka banyak pasien yang justru menjadi rentan terhadap berbagai penyakit lain. Oleh karenanya pengawasan ketat dari dokter menjadi sangat penting. Maka wajarlah apabila banyak pasien yang berusaha menghindari terapi menyakitkan ini.
Mereka mulai melirik terapi yang lebih aman dan berefek samping ringan, seperti terapi antibodi atau terapi gen. Pabrik farmasipun mulai ramai-ramai memburu obat baru, baik membeli hak paten penelitian yang sudah jadi ataupun mengembangkan riset sendiri. Perburuan itu makin kencang menyusul habisnya hak paten sejumlah obat.
Sebut saja Nolvadex, obat kanker payudara tamoxifen produksi Astra Zeneca Plc, London, Inggris, sudah berakhir sejak Februari tahun lalu. Begitu pula obat kanker payudara dan ovarium carboplatin buatan Bristol Myers-Squibb, Amerika Serikat. Juga akan habis masa hak patennya tahun ini.
Pabrik obat Indonesia tak ketinggalan ikut berburu. Dexa Medica, misalnya, malah sudah menjalin kerja sama dengan Reddy's Laboratories, Hyderabad India. Kerja sama tadi ditandatangani 1 Juli tahun lalu di Jakarta. Ferry Sutikno, Managing Director Dexa Medica Group, mengatakan bahwa pihaknya akan membuat tujuh macam obat kanker, di antaranya kanker payudara, kolon, paru-paru, dan prostat.
''Mudah-mudahan tahun ini sudah bisa diproduksi, tentunya setelah izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, keluar!'' katanya kepada beberapa orang wartawan. Bila sudah berproduksi, Ferry memperkirakan ongkos pengobatan yang semula Rp 40 juta bisa ditekan sampai menjadi sekitar jadi Rp 5 juta. Bila benar demikian, tentu tidak hanya lebih murah, tetapi harus lebih manjur.
Sumber: Aries Kelana, Amalia K. Mala, Nurul Fitriyah (Surabaya) dan Gatra Online
Post a Comment