Kasus pencemaran nama baik yang disangkakan kepada Prita Mulyasari menggugah khalayak. Dukungan pun berdatangan membelanya. Peristiwa itu merupakan sebuah harga mahal yang harus ditebus Prita, namun menjadi pembuka tabir layanan medis yang masih layak dipertanyakan.
Prita Mulyasari memang bukan Manohara. Namun, kasus yang membelitnya tak kalah populer dengan model cantik yang dipersunting Pangeran Kelantan, Malaysia, itu. Ibu dua anak balita, warga Bintaro, Tangerang ini, Rabu (3/6), dikeluarkan dari tahanan setelah sejak 13 Mei lalu mendekam di penjara wanita Tangerang.
Status tahanannya diubah menjadi tahanan kota setelah sebelumnya pihak aparat hukum mendapat kecaman keras dari berbagai kalangan. Mulai dari warga masyarakat lewat jejaring sosial Facebook hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan beberapa jam sebelum pembebasan, calon presiden Megawati menyempatkan mengunjungi Prita di LP Wanita Tangerang.
Kasus penahanan Prita hanya disebabkan ia mengeluhkan pelayanan buruk di Rumah Sakit Omni Internasional, Alam Sutra, Tangerang. Keluh kesah itu oleh Prita dikirim melalui e-mail ke beberapa teman. Dalam hitungan hari, e-mail Prita sudah menggegerkan dunia maya karena termuat di berbagai milis. Pihak RS Omni pun kebakaran jenggot, dan langsung melaporkan Prita ke polisi dengan sangkaan pencemaran nama baik. Prita juga dituntut perdata (ganti rugi) hingga ratusan juta rupiah.
Aparat kepolisian dan kejaksaan tampak bersemangat dan sigap menangani kasus yang melibatkan rumah sakit mewah dan tajir ini. Dengan alasan ancaman hukumannya lebih dari enam tahun, Kejaksaan Negeri Tangerang menjebloskannya ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita. Prita meronta minta waktu untuk bertemu terlebih dahulu dengan anaknya karena ingin memberi ASI. Namun, cengkeraman aparat hukum lebih kuat untuk menggelandangnya ke balik jeruji besi.
Rintihan Prita tampaknya bocor ke luar tembok penjara. Media massa mengangkat kasusnya, dan gegerlah Indonesia. Dukungan pada Prita terus mengalir. Pada sidang perdananya yang digelar Kamis (4/6) lalu, muncul aksi solidaritas menuntut pembebasan Prita.
Prita dijerat dengan Pasal 27 juncto Pasal 45 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 310 jo 311 KUHP. Semuanya terkait dengan pencemaran nama baik. Ada dua soal kenapa kasus Prita mencuat. Pertama, ia dikenai pasal pencemaran nama baik dan UU ITE, padahal apa yang ditulis di e-mail tidak lebih dari keluhan seorang pasien. Hak berpendapat seolah dikebiri. Inilah yang kemudian menimbulkan reaksi keras. Hingga Sabtu pagi (6/6), halaman isu di Facebook yang mendesak pembebasan Prita dari jeratan hukum telah mencapai 200 ribu lebih. Sejumlah media online internasional juga menyoroti kasus ini. Di antaranya, situs Straitstimes.com (Singapura), www.news24.com (Afrika Selatan), kantor berita Agence Perancis-Presse (AFP) Prancis, Australian Associated Press (AAP) Australia, dan BBC London.
Informasi Medis
Persoalan kedua, yang tak kalah pentingnya adalah hak informasi medis seorang pasien. Sudah lama masalah ini menjadi keluhan masyarakat. Kasus Prita dijadikan momentum publik untuk mempertanyakan arogansi dunia medis. Masih banyak orang yang bernasib seperti Prita yang dikecewakan dokter atau rumah sakit, yang pada akhirnya menguap begitu saja karena tidak terungkap di media. Kasus Prita menunjukkan kepada kita betapa lemahnya perlindungan terhadap pasien di Indonesia.
Handrawan Nadesul, dalam tulisannya di sebuah harian, menyebut, tanpa melacak apa di balik kasus itu, kasus Prita masih akan terus menjadi endemis. Anggapan bahwa dokter selalu benar perlu diluruskan. "Dokter dan rumah sakit bukan pihak yang untouchable," tulisnya. Menurut Handrawan, otonomi dokter kelewat tinggi sehingga jika akhlak dokter lumpuh, dokter bisa berkelit dari tudingan melakukan kesalahan. "Dokter dan rumah sakit bisa terjebak berlaku nakal dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien yang teperdaya jika orientasi profesi dokter hanya demi duit.
"Tanpa akhlak yang elok, hukum medis bisa ditekuk, dan dokter memanfaatkan kekuasaannya yang tinggi. Rekam medis sebagai satu-satunya bukti tindak malapraktik ada di bawah kekuasaan dokter," ujar Handrawan. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Tulus Abadi, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ia mengecam tindakan Omni, yang mengabaikan hak-hak pasien untuk mengetahui informasi medis miliknya sendiri. "Seharusnya sudah menjadi hak penuh pasien untuk mengetahui seluk-beluk catatan kesehatannya selama dirawat di RS," kata Tulus. Termasuk di dalamnya, jenis obat dan suntikan apa saja yang dimasukkan ke tubuhnya. Informasi mungkin saja tidak disampaikan langsung kepada pasien dalam kondisi tertentu, terutama jika informasi tersebut dapat memperburuk kondisi kesehatannya, misalkan akan membuat pasien syok.
Namun, pihak RS tetap wajib menyampaikan informasi tersebut kepada keluarga. Jika hal ini dilakukan, dapat menekan pemanfaatan pasien untuk kepentingan bisnis semata tanpa mengindahkan fungsi sosialnya. Ketidaktahuan pasien dapat membuka peluang bagi pihak-pihak nakal dengan cara memasukkan bermacam obat yang mahal harganya. Bisa jadi obat yang dimasukkan tersebut belum tentu dibutuhkan oleh pasien.
Menurut Tulus, "eksploitasi" obat-obat mahal ini dipicu oleh penggunaan obat paten yang dinomorsatukan ketimbang obat generik. Padahal di negara mana pun, pemberian obat diharuskan menggunakan obat generik terlebih dahulu.
Jika obat yang dibutuhkan tidak ada generiknya, barulah diperkenankan menggunakan obat paten yang biasanya lebih mahal harganya. "Kalau di Indonesia semua jadi kebalik, obat nongeneriklah yang didahulukan dan dipertamakan, untuk mengejar komisi yang besar dari produsen obat," ujarnya gemas. Untuk itu, Tulus menyarankan agar pihak keluarga yang memercayakan anggota keluarganya pada layanan medis harus rajin memintakan informasi tentang kesehatan anggota keluarganya kepada pihak dokter dan RS. "Jika pihak dokter atau RS pelit informasi, maka keluarga harus aktif mencari tahu," ucap Tulus.
Tempat Mengadu
Jika sampai menemui kejanggalan ataupun pasien merasa dirugikan, pihak keluarga dapat mengadukan dugaannya tersebut ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Lembaga ini merupakan lembaga otonom yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Lembaga ini dibentuk atas amanat Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Kelahiran lembaga ini diharapkan dapat menjadi "polisi" yang siap menjaring semua bentuk pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter dan dokter gigi di Tanah air.
Menurut Tini Hadad, anggota Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran Indonesia, majelis ini membuka pintu selebar-lebarnya untuk menerima pengaduan secara tertulis dari siapa pun yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan akibat tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokterannya.
Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etik sangat bergantung pada bobot pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran ringan, sedang, dan berat. Jika sampai terbukti, dapat dijatuhkan sanksi berupa peringatan (lisan maupun tertulis, rekomendasi pencabutan izin praktik, dan reschooling). Sayangya, sanksi ini tidak dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh pengadu. Namun, sanksi ini dapat dijadikan dasar untuk mengadukan dugaan tersebut secara perdata maupun pidana. "Untuk memerkarakannya secara pidana maupun perdata, itu menjadi hak pasien, dokter juga bisa kena pidana kok," tegas Tini.
Majelis ini sepertinya merupakan angin baru bagi perlindungan hak-hak pasien dan menyampaikan keluhan, tentu bukan kejahatan. Untuk itu, lembaga yang baru-baru ini dipercaya Menteri Kesehatan Fadilah Supari untuk mengaji kasus Prita Mulyasari ini sangat diharapkan netralitasnya. Jauh dari kesan membela rekan sejawat, demi nama baik korps kedokterannya. cit/L-1
Post a Comment