"Kekeliruan Negatif" adalah istilah yang dipakai dalam bidang mamografi jika hasil mamogram seorang wanita menampakkan bahwa benjolan di payudaranya bukan kanker walau pada kenyataannya itu memang kanker. Statistik menunjukkan bahwa sepuluh sampai tigapuluh dari seratus wanita yang menjalani mamografi mengalami kekeliruan negatif.
Wanita-wanita yang tidak beruntung ini dengan perasaan lega pulang ke rumah bersama kabar bahwa mereka tidak perlu kuatir apa-apa. Namun kemudian, saat kanker tadi memiliki kesempatan untuk bertumbuh, akan menjadi nyata besarnya kekuatiran yang seharusnya mereka alami.
Lima bulan sebelum nyeri di punggung itu saya perhatikan, saya menjumpai, selama pemeriksaan sendiri, sebuah benjolan kecil di payudara kiri saya. Riwayat keluarga saya terhadap kanker payudara mengatakan bahwa ini jangan diabaikan. Nenek saya meninggal karena kanker payudara. Ibu saya, meskipun tidak pernah menderita kanker, telah mengalami banyak kista yang hilang timbul di payudaranya. Takut akan nasib yang menimpa ibunya, dia menjalani mastektomi ganda saat usianya tigapuluhan. Tak perlu diberitahu, saya segera memanggil dokter keluarga kami!
Mamogram yang saya dapat di klinik setempat menunjukkan bahwa sebenarnya ada dua benjolan kecil dan mereka berlabel nonkanker, jinak. Sebuah tes tambahan, ultrasonografi, juga menunjukkan bahwa mereka negatif.
"Tidak, tidak ada kanker di sini," keputusan dokter setelah pemeriksaan ultrasonografi itu."Bagaimana anda bisa begitu yakin?" saya berkeras. "Jika suatu benjolan adalah kanker, itu akan terlihat di layar sebagai massa yang solid. Benjolan-benjolan ini, mereka penuh cairan. Ini hanyalah kista-kista yang tidak perlu anda kuatirkan."
Tapi hanya lima bulan berikutnya kanker payudara yang agresif itu telah memperkenalkan dirinya seiring dengan bertambahnya rasa nyeri di punggung saya. Pada akhirnya ketika saya dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan di rumah sakit, kanker yang awalnya berupa dua benjolan kecil di payudara kiri telah menyebar ke seluruh tubuh saya. Beberapa tumor ditemukan menutupi tengkorak, bahu, iga, tulang panggul, serta ke atas dan ke bawah sepanjang tulang belakang saya -- selain tumor besar yang telah berkembang dari kedua benjolan kecil yang disebut "nonkanker" pada payudara saya. Begitu agresifnya tumor ini menyerang tubuh saya, sehingga menyebabkan patah tulang akibat stres (fraktur stres) di dalam tulang punggung saya. Punggung saya benar-benar patah!
Pada hari setelah Dr. Schubert yang secara dramatis telah masuk dalam kehidupan saya dengan berita yang menghancurkan tentang kanker payudara dan perlunya saya dioperasi, Dave dan saya mendesak bahwa kami punya waktu untuk bicara dengannya sebelum membuat keputusan ini. Dia meminta maaf karena telah begitu mengagetkan, memastikan kami bahwa dia hanya tertarik pada apa yang terbaik bagi saya. Di dalam benaknya saya memerlukan pembedahan, segera! Jadwalnya sangat padat. Dia benar-benar tidak ingin membuang waktu yang berharga.
Ketika kami bercakap-cakap dengannya sehubungan dengan pendapat saya, dia mengatakan sesuatu yang setiap wanita perlu ketahui. Saya harap ada seseorang yang seharusnya mengatakannya setahun sebelumnya ketika saya menemukan benjolan-benjolan itu pertama kalinya. "Jangan percayai hasil mamogram atau ultrasonografi," katanya. "Kalau anda memiliki benjolan, selalu mintalah dibiopsi!"
Pembedahan, Radiasi, Kemoterapi
Saya menjalani mastektomi. Persisnya 17:30 sore itu, payudara kiri saya diangkat, bersama dengan sebuah tumor di bawahnya yang ukurannya sebesar payudara saya secara keseluruhan. Di saat yang sama sebuah kateter hickman, sebatang pipa limabelas inci diarahkan langsung ke jantung saya, diimplantasikan dalam dada saya, yang akan dipakai untuk memberikan pengobatan kemoterapi.
Keesokan harinya, masih terasa pusing dan sakit akibat pembedahan, saya diberi kantong-kantong obat pertama saya yang disediakan untuk membunuh sel-sel kanker yang telah bercokol di sisa tubuh saya.
Gambarannya tidaklah begitu cerah. Kami bukan warga perkemahan yang berbahagia seperti kaum Hippies umumnya. Hidup telah runtuh di bawah lutut kami, meninggalkan kami terlantar dan terluka. Kami merasa tidak tertolong, putus asa dan hampa. Kanker telah menimpa kami seperti kabut, membuat kami berjalan tertatih-tatih menggapai masa depan. Apa yang kami lakukan sekarang? Berapa lama yang kami miliki? Bagaimana kami menceritakannya kepada anak-anak? Bagaimana seharusnya kami hidup?
Waktu pertama kali menerima kabar bahwa saya menderita kanker, sebuah pertanyaan yang membara adalah apakah ada orang lain di luar sana dengan penyakit seprogresif penyakit saya yang telah bertahan hidup. Jika tak ada seorangpun, saya bahkan tidak yakin ingin mencobanya.
Sebaliknya, saya bukanlah seorang yang dapat begitu saja melemparkan handuk dan bermain dengan korban yang tidak berdaya. Hal demikian bertentangan dengan sifat saya. Saya adalah seorang pejuang. Jika ada jalan apapun bagi saya untuk mengalahkan kanker, saya berkeputusan untuk menemukannya.
Setelah dipulangkan dari rumah sakit saya pergi ke perpustakaan umum dan menenggelamkan diri saya dalam buku-buku tentang kanker. Karena ada 497 buku saya membatasi penelitian pada penyakit saya sendiri -- kanker payudara. Banyak buku dengan berbagai komentar yang dipenuhi statistik sehingga hanya seorang dokter yang dapat atau ingin memahaminya -- buku-buku yang dengan dingin menyanyikan lagu penguburan saya. Saya mengembalikan mereka ke rak agar lebih berdebu lagi. Namun pada beberapa buku saya jumpai kisah-kisah dari berbagai individu yang telah mengalahkan setiap bentuk kanker yang ada. Beberapa orang telah menemukan jalannya kembali menuju kehidupan dari ranjang kematian mereka. Dengan semangat mereka dan ketetapan hati saya untuk menjadi seorang pemenang, saya memutuskan untuk memerangi musuh saya dengan setiap bagian diri saya.
Selama satu setengah tahun berikutnya saya secara agresif mengarahkan diri pada semua yang dunia medis tawarkan dalam peperangan melawan kanker. Sepasang tumor yang lebih besar dekat tulang punggung saya diberi radiasi selama dua minggu. Ini bersama-sama dengan kemoterapi, lebih dari yang dapat ditanggung tubuh saya dan membawa saya masuk rumah sakit dengan pnemonia (rang paru-paru) yang berat. Tubuh saya secara ajaib dapat mengatasi rintangan itu, dan akhirnya saya kembali ke jalur kemoterapi. Sebenarnya, saya mentoleransi kemo dengan sangat baik. Seperti yang telah diperingatkan, rambut saya rontok. Saya mengalami kebotakan selama delapanbelas bulan. Dan kemo membuat saya sangat letih. Tapi efek positifnya terhadap kanker melebihi semua efek yang negatif.
Untuk saat itu hitungan kanker saya terus menurun menuju remisi. Semuanya terlihat memberi harapan. Saya sangat bersyukur atas obat-obatan yang saya masukkan ke dalam sistem tubuh saya untuk meracuni kanker itu, memandang mereka sebagai teman yang dapat dipercaya. Tetapi kira-kira sepuluh bulan pengobatan, tepat seperti yang diprediksikan onkologis saya, kemo mulai berkurang efektivitasnya. Kanker saya bertumbuh menjadi kebal (resisten). Suatu campuran obat-obatan baru dicobakan. Untuk ini kami menambahkan terapi hormonal. Tetapi setiap kali dilakukan penghitungan, tampak jelas bahwa penyakit itu tetap bercokol dan saya mulai kalah dalam perang.
"Ada pertolongan terakhir yang mungkin ingin anda pertimbangkan," ujar onkologis saya. "Transplantasi sumsum tulang. Jika anda mau, saya akan menghubungi kedua rumah sakit yang melakukannya dan melihat apakah anda adalah calon yang baik."
Transplantasi Sumsum Tulang
Satu tahun lebih satu bulan sesudah saya didignosis pasti menderita kanker, dan sesudah tiga penundaan yang membuat frustrasi, saya diterima dalam program transplantasi sumsum tulang di sebuah rumah sakit besar Midwestern. Direncanakan untuk prosedur "otolog." Dengan kata lain, saya akan menjadi donor bagi diri saya sendiri. Pengobatan ini meliputi empat langkah. Yang pertama adalah mengumpulkan sel-sel cikal-bakal (stem) dari darah saya untuk disimpan dan nantinya akan disuntikkan kembali ke dalam tubuh saya. Langkah kedua ialah menampatkan saya di suatu kamar isolasi dan memborbardir kanker saya dengan dosis kemoterapi yang sangat besar, beberapa kali lebih kuat daripada yang tubuh saya dapat toleransi dengan baik dibanding pada keadaan lainnya. Tujuannya untuk membunuh semua kanker dengan satu sapuan yang dahsyat. Langkah ketiga ialah penyuntikan kembali sel-sel stem cadangan tadi, dengan harapan mereka akan menjadi akar dan membangun kembali sumsum tulang saya yang telah dihancurkan bersama kanker dalam langkah kedua. Menjaga saya tetap hidup sementara sel-sel stem saya dikembang-biakkan di laboratorium adalah tujuan terpenting dari langkah keempat.
Maka, beberapa jam sehari semala dua minggu, saya dihubungkan ke sebuah mesin yang mengumpulkan sel-sel stem dari darah saya. Setelah proses itu selesai saya dikirim ke kamar isolasi untuk memulai langkah kedua sampai keempat. Selama tujuh hari pertama sistem tubuh saya dibuat jenuh dengan kemoterapi. Saya sedang dibunuh di bagian dalam. Obat-obat sel darah saya yang baik dan sistem kekebalan saya. Segala macam kuman atau infeksi yang masuk ke kamar merupakan ancaman yang mematikan.
Selama musim panas, suami, anak-anak, dan ibu saya telah pindah ke kota tempat rumah sakit itu berada dan diperbolehkan untuk berkunjung ke dalam kamar, tetapi mereka harus memakai pembungkus sepatu, jubah, sarung tangan karet, dan masker wajah. Bahkan saya tidak dapat menerima bunga segar di dalam kamar, takut bahwa mereka mungkin membawa beberapa macam bakteri.
Pada awal minggu kedua saya di kamar isolasi, kumpulan sel stem yang telah diambil sebelumnya dimasukkan kembali ke tubuh saya. Proses menunggu agar mereka membangun lagi sumsum tulang yang kini hancur dimulai. Sepanjang limapuluh dua hari di kamar itu, sebagian besarnya saya tidak ingat. Hampir di sepanjang bulan Juli suami saya harus mengurusi saya. Aliran obat yang terus-menerus untuk membantu tubuh saya mengatasi efek rasa mual akibat penjenuhan dengan obat kemo dan untuk menjaga terhadap infeksi menyebabkan otak saya beku. Saya bahkan tidak ingat pembedahan darurat di pertengahan bulan ketika radang paru pnemonia menutup paru kanan saya dan ginjal saya mulai gagal bekerja. Tidak terekam sedikitpun di kepala saya, saat mereka mendorong saya kembali ke kamar operasi, bahwa saya sedang di tepi antara hidup dan mati.
Suami saya dan saya memperhatikan suasana emosi pada malam itu. Anak-anak perlu diberitahu bahwa saya sedang dalam kondisi yang sangat serius dan mungkin tak lama lagi mati. Dia berbicaram dengan lembut kepada mereka, menggenggam tangan mereka, lalu melingkarkan lengannya sekeliling mereka dalam isakan tangis dan air mata yang berderai. Itu adalah saat yang sangat sukar bagi mereka semua. Dia mengumpulkan teman-temannya kembali di rumah, meminta mereka untuk berdoa. Ayah saya diberitahu dan mulai melakukan persiapan untuk datang. Bersama-sama, Dave dan anak kami duduk dengan ibu saya di ruang tunggu kamar bedah, menyiapkan diri mereka untuk hal yang terburuk. Air mata berderai, doa-doa dinaikkan, bahu-bahu tersandar. Sebuah catatan yang Dave buat di buku harian sakunya malam itu adalah "kematian dapat diramalkan."
Jam-jam berlalu sementara mereka menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi dengan saya malam itu. Akhirnya, pada pagi hari, ahli bedah memasuki ruang tunggu dan berbicara kepada Dave. "Paru-parunya sendiri kelihatan baik," katanya. "Kami mengambil sebagian kecil darinya agar kami dapat melihat apa yang sedang terjadi di sana. Lebih baik pulang dan tidurlah sekarang."
Seorang penjudi sebaiknya tidak memasang taruhan uang terhadap kesembuhan saya. Sebagian besar pasien yang meninggal selama trnasplantasi sumsum tulang yang demikian disebabkan oleh komplikasi akibat pnemonia. Sepertinya saya akan bergabung dengan mereka.
Saya diperhatikan dengan teliti. Setiap pagi seorang teknisi medis akan mendorong sebuah mesin sinar-X portabel untuk mengambil gambar baru dari paru-paru saya. Antara hal itu dan kenyataan bahwa ahli bedah tadi telah memisahkan iga saya agar dapat melihat dengan baik, nyeri terasa walaupun hanya sekedar berpikir untuk menggerakkan tangan saya, jauh berkurang bila berbaring pada sisi saya.
Biopsi mengungkapkan tidak ada yang aneh, paling tidak sejauh membuat perubahan atas obat-obat yang diberikan kepada saya. Tidak pernah jelas kenapa campuran antibiotik yang telah saya minum sejak awal prosedur trnasplantasi tidak melindungi saya dari pneumonia. Tidak ada yang dilakukan kecuali terus memompa saya sampai penuh dengan obat yang sama dan mengharapkan yang terbaik.
Sejujurnya oleh kasih karunia Tuhan saya mulai membaik. Saya beranggapan itu berasal dari doa teman-teman dan keluarga yang membela kasus saya di hadapan Sang Pencipta. Staf rumah sakit sungguh tidak berani menduga saya bisa sembuh. Dalam buku ini nanti akan saya ceritakan lebih lagi tentang dahsyatnya kuasa doa. Untuk sekarang ini saya ingin anda tahu bahwa di bawah semua yang tertulis di halaman-halaman ini ada keyakinan yang sangat kuat bahwa Tuhan mempunyai otoritas menyeluruh atas kehidupan setiap orang.
Pada akhir Juli sampai awal Agustus, saya mulai mengumpulkan kembali sebagian kekuatan saya. Semua hal mulai kelihatan menunjukkan harapan. Bagaimana pun kemungkinan saya akan bertahan hidup dari pengobatan ini. Saya berharap semua kanker di tubuh saya mati. Saya belum makan apapun selama berminggu-minggu, saya mendapat makanan melalui selang intervena. Setiap harinya makanan diberikan kepada saya. Lambat laun saya mulai mampu menelannya.
Batuk-batuk dan muntah-muntah, yang telah mengisi sebagian besar jam-jam keberadaan saya dalam minggu-minggu dan bulan-bulan ini, menyebabkan mata saya bercak hitam. Mata kiri saya merah semuanya sehingga tidak ada bagian putih yang terlihat. Itu benar-benar fiksi ilmiah! Memang tidak begitu sakit, tetapi pengunjung akan ngeri saat pertama mereka melihat saya. Saya juga menderita ruam yang melingkupi saya dari kepala ke jari kaki berwarna dan ungu cerah. Kulit saya terbakar dari dalam ke luar, akhirnya berubah menjadi warna coklat. Lapisan luar mulut dan saluran pencernaan saya melepuh dan rontok. Benar-benar pemandangan seram yang harus saya alami! Pipa-pipa dimasukkan dan dikeluarkan dari "kepala saya yang botak, mata berdarah, tertutup tubuh yang membusuk dan bercoreng. Yah, di samping semua manifestasi luar ini sejumlah besar kemoterapi yang diberikan telah mengambil korban yang amat besar di bagian dalam. Kerusakan terjadi pada semua organ vital saya.
Suatu hari, tibalah waktunya untuk melakukan biopsi sumsum tulang yang lain, prosedur pemasukkan jarum panjang jauh ke dalam tulang punggung saya untuk menyedot sumsum tulang terasa nyeri. Prosedur ini telah dilakukan terhadap saya sebelum saya meninggalkan rumah untuk menjalani transplantasi. Pada waktu itu sel-sel kanker ditemukan dalam sumsum saya. Pemeriksaan yang dilakukan sekarang akan mengatakan apakah transplantasi tersebut sukses -- apakah perjalanan melalui neraka ini telah berhasil.
Hari-hari yang berlalu di antara biopsi dan penerimaan hasil berjalan begitu lambat. Tidakkah bagian laboratorium tahu betapa pentingnya berita ini bagi kami? Akhirnya kata itu ke luar. Mereka bukannya lambat, melainkan berhati-hati. Ada beberapa hal dalam biopsi yang perlu mereka perhatikan lebih teliti.
"Saya minta maaf," kata dokter itu, sambil memegang tangan saya, matanya dipenuhi airmata. "Masih ada banyak kanker di dalam sumsum tulang anda." (Belakangan seorang teman diberitahu oleh dokter-dokter saya, "Anne Frahm adalah satu dari orang-orang yang tidak beruntung yang prosedurnya tidak berhasil. Ini tidak ada harapan, sungguh.")
Itu adalah pil paling keras yang harus ditelan! Kanker itu masih ada di sana. Prosedur transplantasi tidak seefektif yang diharapkan. Memang telah membunuh banyak sekali sel kanker, tapi tidak semua. Apa yang tertinggal akan berkembang biak. Kemoterapi yang lebih banyak tidak ditanyakan lagi. Menurut para dokter itu, ini hanya masalah waktu sebelum kanker tadi akhirnya memenangkan perang.
Sulit rasanya tinggal di ruangan itu beberapa minggu lagi, tidak melakukan apa-apa hanya menunggu sel-sel stem saya cukup berkembang untuk menaikkan kapasitas produksi darah pada sumsum tulang saya. Hitungan jenis sel darah putih saya naik turun antara nol dan 100 selama berhari-hari. Normalnya antara 4.000 dan 10.000. Jumlah darah saya harus sudah naik sebelum saya pergi ke "dunia nyata" yang penuh dengan kuman dan hanya dapat terlindungi oleh sel-sel darah putih.
Ibu saya mendengar bahwa ada obat eksperimentalyang sedang diuji cobakan pada beberapa pasien di bagian bangsal yang berpotensi merangsang pertumbuhan sel-sel darah putih. Ketika saya menanyakan dokter tentang ini, jawabannya membuat saya tertegun. "Pada saat penelitian ini obat itu hanya tersedia dalam jumlah terbatas," katanya. "Oleh sebab itu hanya dicadangkan bagi pasienpasien deng prognosa jangka panjang yang lebih baik dari anda. Saya mohon maaf."
Sepertinya dia telah menempatkan saya di sebuah peti mati dan mentup serta memakunya. Angin apa pun yang masih membuat saya berlayar mungkin telah meninggalkan saya saat itu jika tidak memiliki kepercayaan yang kuat bahwa saya berada di dalam tangan Tuhan dan bahwa, dalam situasi hidup apapun yang kita hadapi, selalu ada harapan. Sebuah ayat kesukaan dari Alkitab yang mengatkan keyakinan saya: "Jangan takut, sebab Aku besertamu; jangancemas, karena Akulah Tuhanmu. Aku akan menguatkan kamu dan menolongmu; Aku akan menopangmu dengan tangan kanan kebenaranKu."
Akhirnya tim dokter di ruang bangsal memutuskan agar saya dipulangkan. Tidak, jumlah darah putih saya belum mencapai tingkat yang aman untuk melindungi saya terhadap kuman-kuman dalam kehidupan, tetapi tidak ada yang mengatakan kapan itu akan dilakukan. Saya bisa layu di rumah sakit selama berminggu-minggu. Di samping itu, mereka membutuhkan kamar. Daftar panjang dari orang-orang yang ingin menjalani prosedur transplantasi; bagi yang lain mungkin ini akan lebih berhasil. Tibalah waktu saya untuk pergi.
Pagi hari sebelum saya meninggalkan rumah sakit, dokter-dokter masuk ke kamar dan berbicara sedikit. Isinya adalah sejumlah peringatan yang perlu saya ingat-ingat untuk melindungi diri saya dari kuman-kuman, dicampur dengan ide-ide menghibur tentang betapa baiknya nanti bagi saya untuk kembali ke rumah dan menghidupi kehidupan saya lagi. Pada dasarnya yang mereka sampaikan pada saya adalah pergi dan nikmati hidup sepenuhnya. Saya tahu bahwa dibalik kata-kata mereka ada prognosa yang tak terucap bahwa waktu saya singkat. "Makan, minum, dan bersukarialah," mereka katakan, "Engkau akan segera mati."
Tapi seperti yang tadi saya katakan, selalu ada harapan! Dokter-dokter mengatakan saya sebagai seorang yang "mati," tapi saya belum siap untuk meninggalkan kehidupan ini. Saya berada dalam perjuangan ini untuk mencapai akhir! Saya tidak akan percaya perjuangan ini selesai sampai saya bertemu Pencipta saya.
Sumber: Melawan Kanker
Post a Comment