Li adalah seorang wanita berusia 41 tahun dan mantan salahseorang mahasiswa saya. Lulus dari universitas ia bekerja mejadi seorang guru sains. Tahun 2004, setelah mendapat pelajaran dari seorang suster tentang "Sarari" ia merasakan adanya tiga benjolan di payudara kirinya. Lalu ia berkonsultasi pada seorang dokter yang kemudian melakukan lumpectomy untuk membuang benjolan di payudara tsb.
Hasil pemeriksaan hispatologi dari operasi ini ternyata memastikan bahwa Li mengidap tumor ganas. Beberapa hari setelah itu Li pun harus merelakan seluruh payudara kirinya diangkat melalui operasi bedah di salahsatu rumah sakit pemerintah.
Hasil pemeriksaan hispatologi dari operasi ini ternyata memastikan bahwa Li mengidap tumor ganas. Beberapa hari setelah itu Li pun harus merelakan seluruh payudara kirinya diangkat melalui operasi bedah di salahsatu rumah sakit pemerintah.
Selanjutnya Li harus menjalani delapan kali kemoterapi dan duapuluh kali radiasi. Setelah menyelesaikan seluruh prosedur ini Li masih diharuskan mengkonsumsi tamoxipen selama dua tahun sampai Januari 2007. Bersamaan dengan itu ia juga diminta untuk mengkonsumsi Zoladex (gocerelin acetate) – senyawa kimia yang dimaksudkan untuk menghancurkan ovarisnya agar tidak lagi memproduksi hormon kewanitaannya. Ia diberi Zoladex sebulan sekali selama dua tahun.
Pertengahan Januari 2007 Li mulai merasakan sakit hebat pada perutnya yang membesar, bengkak dan keras. Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan adanya kelenjar getah bening berukuran 4 mm di cuping kanan atas paru-paru kanannya dan lebih banyak lagi di hatinya. Ditemukan juga beberapa kerusakan lokal pada L2 tulang belakangnya dan benjolan-benjolan yang berbentuk pipih di C5/6. Hal ini mengindikasikan bahwa kanker sudah menyebar ke hati dan tulang. Menurut radiolog, kerusakan di paru-parunya sangat mungkin disebabkan oleh granuloma.
Selanjutnya Li diharuskan untuk menjalani kemoterapi sebanyak enam kali lagi. Setelah kemo yang ke-empat, pemeriksaan CT-Scan menunjukkan adanya pengecilan dan pengurangan jumlah kerusakan pada hati. Akan tetapi di akhir kemoterapi yang ke-enam tanda-tanda “sukses” tadi berubah. Ternyata tumor hatinya semakin membesar!
Pemeriksaan CT-Scan pada bulan Mei 2007 menunjukkan kerusakan pada bagian T12 dan L2 telah menyebabkan terjadinya metastasis pada tulang-tulang Li. Dokternya menulis: “Memperhatikan peningkatan metastasis yang terjadi pada hati dan tulang yang menunjukkan berkembang pesatnya penyakit, maka diperlukan perubahan tindakan medis.” Lalu ia memberitahu Li bahwa ia akan segera mengganti cara pengobatan, termasuk juga obat-obatan untuk Li. Li memutuskan untuk tidak lagi menuruti sang dokter - terutama untuk menjalani kemoterapi - namun sangat bingung bagaimana setelah itu? Akhirnya ia datang untuk meminta bantuan saya. Li menemui saya dalam keadaan sangat lemah dan sungguh memprihatinkan. Perutnya membesar, lengan kirinya bengkak, demikian juga dengan kedua belah kakinya.
Komentar Prof. Chris Theo., PhD
Episode di atas sungguh sangat tragis – terutama bila yang dipertanyakan adalah efektifitas dari apa yang disebut-sebut sebagai terapi kanker payudara yang sudah “teruji”. Li memang memperoleh semua pelayanan medis yang tersedia. Namun setelah berjalan selama tiga tahun ia terpaksa menyudahinya, tapi dalam kondisi yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan ketika ia belum memulai terapi. Karenanya saya ingin bertanya: “kalau saja selama ini Li tidak melakukan apa-apa, akankah ia menderita sejauh dan sehebat apa yang dirasakannya seperti saat ini?”
Berdasaran pengalaman saya yang sudah lebih dari satu dasawarsa lamanya menolong penderita kanker, maka ini yang ingin saya katakan: “Tidak. Li belum tentu akan menderita bertubi-tubi seperti saat ini. Saya mengenal banyak pasien dari Indonesia yang percaya pada “jamu” dan pengobatan tradisional dengan herbal. Pada umumnya mereka tidak harus mengalami penderitaan sehebat dan separah seperti apa yang dialami oleh Li.”
Professor Hardin Jones dari University of California – Barkeley, pernah mengatakan, dan ucapannya itu dikutip di sini sebagai berikut:
Sumber: Ezine Articles
Pertengahan Januari 2007 Li mulai merasakan sakit hebat pada perutnya yang membesar, bengkak dan keras. Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan adanya kelenjar getah bening berukuran 4 mm di cuping kanan atas paru-paru kanannya dan lebih banyak lagi di hatinya. Ditemukan juga beberapa kerusakan lokal pada L2 tulang belakangnya dan benjolan-benjolan yang berbentuk pipih di C5/6. Hal ini mengindikasikan bahwa kanker sudah menyebar ke hati dan tulang. Menurut radiolog, kerusakan di paru-parunya sangat mungkin disebabkan oleh granuloma.
Selanjutnya Li diharuskan untuk menjalani kemoterapi sebanyak enam kali lagi. Setelah kemo yang ke-empat, pemeriksaan CT-Scan menunjukkan adanya pengecilan dan pengurangan jumlah kerusakan pada hati. Akan tetapi di akhir kemoterapi yang ke-enam tanda-tanda “sukses” tadi berubah. Ternyata tumor hatinya semakin membesar!
Pemeriksaan CT-Scan pada bulan Mei 2007 menunjukkan kerusakan pada bagian T12 dan L2 telah menyebabkan terjadinya metastasis pada tulang-tulang Li. Dokternya menulis: “Memperhatikan peningkatan metastasis yang terjadi pada hati dan tulang yang menunjukkan berkembang pesatnya penyakit, maka diperlukan perubahan tindakan medis.” Lalu ia memberitahu Li bahwa ia akan segera mengganti cara pengobatan, termasuk juga obat-obatan untuk Li. Li memutuskan untuk tidak lagi menuruti sang dokter - terutama untuk menjalani kemoterapi - namun sangat bingung bagaimana setelah itu? Akhirnya ia datang untuk meminta bantuan saya. Li menemui saya dalam keadaan sangat lemah dan sungguh memprihatinkan. Perutnya membesar, lengan kirinya bengkak, demikian juga dengan kedua belah kakinya.
Komentar Prof. Chris Theo., PhD
Episode di atas sungguh sangat tragis – terutama bila yang dipertanyakan adalah efektifitas dari apa yang disebut-sebut sebagai terapi kanker payudara yang sudah “teruji”. Li memang memperoleh semua pelayanan medis yang tersedia. Namun setelah berjalan selama tiga tahun ia terpaksa menyudahinya, tapi dalam kondisi yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan ketika ia belum memulai terapi. Karenanya saya ingin bertanya: “kalau saja selama ini Li tidak melakukan apa-apa, akankah ia menderita sejauh dan sehebat apa yang dirasakannya seperti saat ini?”
Berdasaran pengalaman saya yang sudah lebih dari satu dasawarsa lamanya menolong penderita kanker, maka ini yang ingin saya katakan: “Tidak. Li belum tentu akan menderita bertubi-tubi seperti saat ini. Saya mengenal banyak pasien dari Indonesia yang percaya pada “jamu” dan pengobatan tradisional dengan herbal. Pada umumnya mereka tidak harus mengalami penderitaan sehebat dan separah seperti apa yang dialami oleh Li.”
Professor Hardin Jones dari University of California – Barkeley, pernah mengatakan, dan ucapannya itu dikutip di sini sebagai berikut:
Studi-studi saya membuktikan dan sudah sampai pada kesimpulan bahwa para penderita kanker yang tidak menjalani treatment pada umumnya hidup empat kali lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang menjalani treatment. Jika seseorang menderita kanker dan memilih untuk tidak melakukan treatment, ia akan hidup lebih lama dan merasa lebih baik dibandingkan dengan mereka yang menjalani proses radiasi, kemoterapi, atau pembedahan.Ditulis oleh: Prof. Chris Theo., PhD
Sumber: Ezine Articles
Untuk informasi lebih lanjut tentang terapi kanker secara cuma-cuma, kunjungi:
Saya pikir, apa yang ditulis Dr. Chris Theo., PhD ini sangat beralasan untuk ditelusuri lebih dalam, tidak saja oleh penderita kanker, tetapi juga oleh para dokter ahli penyakit kanker sendiri. Masalahnya dalam banyak kasus pengobatan, yang selalu jadi korban adalah pasien. Apalagi ini urusannya dengan penyakit kanker (di negeri ini pula!) yang biayanya tak tertanggungkan bagi hampir sebagian besar masyarakat kita. Saya juga sudah baca tulisan mas Nofie tentang profesi dokter yang menurut saya relevans dengan situasi yang digambarkan Dr. Theo. Saya berdoa semoga mBak mimi tidak harus mengalami apa yang terjadi pada Li.
ReplyDeleteSemoga lekas sembuh mbak.... dan,
tetap semangat!
* Originally posted on: Kamis, Juli 26, 2007