Sebut saja namanya Santi. Kecemasan remaja berusia 14 tahun ini terhadap benjolan di payudara kanannya terjawab sudah. Dari pemeriksaan dokter, benjolan itu merupakan tumor jinak yang bila tidak diobati bisa menjadi kanker payudara. "Masak, sih? Kok, bisa?" ia berseru, benar-benar tidak percaya. Tidak yakin 100 persen dengan diagnosis dokter pertama, dia bersama keluarganyapun melakukan pemeriksaan ulang ke sejumlah rumah sakit di Jakarta.
Pemeriksaan di tiga rumah sakit dijalaninya, ternyata hasilnya tidak berbeda, vonisnya tetap sama. Ternyata bukan hanya Santi yang mendapat kejutan pahit seperti itu. Menurut dr Sutjipto, SpB (K) Onk, dari Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD), belum lama ini ia juga menemukan wanita lajang berusia 22 tahun menderita kanker payudara stadium lanjut. Menurut Sutjipto, saat ini telah terjadi perubahan tren usia pasien kanker payudara.
"Bila dulu waktu saya kuliah jarang sekali kanker payudara pada usia 40 atau 45 tahun, sekarang sudah banyak yang di bawah usia 40 tahun, bahkan ada di bawah 22 tahun sudah kena tumor ganas," ujar Sutjipto kepada Tempo di kantornya beberapa waktu lalu. Tidak hanya dia seorang, menurut Sutjipto, dia bersama empat rekan sejawatnya sesama dokter spesialis bedah onkologis di RSKD dalam dua tahun terakhir menemukan puluhan pasien kanker payudara di bawah usia 30 tahun. "Itu artinya di usia belasan sebenarnya mereka sudah ada tumor jinaknya, tapi belum mereka sadari," ucapnya. Kanker payudara memang pantas dikatakan penyakit yang menjadi momok menakutkan bagi kaum Hawa.
Di dunia, kanker payudara bahkan merupakan penyebab kematian kedua terbanyak setelah kanker paru-paru. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setiap tahun jumlah kasus baru kanker di dunia sekitar 1.150 ribu orang, sebanyak 10 persen karena kanker payudara. Di Indonesia, jumlah penderita jenis kanker ini menduduki peringkat kedua setelah kanker mulut rahim. Walaupun belum diketahui penyebab pastinya, ada faktor risiko terjadinya kanker payudara. Pemicu terjadinya penurunan usia kanker payudara, kata Sutjipto, disebabkan oleh perubahan gaya hidup, seperti konsumsi makanan cepat saji serta kurang konsumsi sayur dan buah.
Adapun risiko lain di antaranya faktor genetik, merokok, konsumsi alkohol, obesitas, kurang aktivitas fisik, telat menikah dan punya anak, serta melahirkan di atas usia 35 tahun. Dia menambahkan, mengkonsumsi pil KB (Keluarga Berencana) atau KB suntik yang sifatnya hormonal dalam jangka waktu yang lama (hingga dua tahun) turut memicu terjadinya kanker. Pasalnya, penggunaan hormonal yang lama dapat mengacaukan keseimbangan hormon estrogen dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadi perubahan sel yang normal menjadi tidak normal. Untuk itu staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia program internasional ini menyarankan wanita jangan terlalu lama menggunakan sistem KB hormonal. Bila sudah dua tahun, wanita tersebut harus pindah ke sistem KB yang lain, seperti KB kondom, spiral, atau kalender.
Lantas wanita yang berusia di atas 35 tahun atau yang memiliki kelenjar susu yang padat disarankan tidak menggunakan sistem KB hormonal. Pasalnya, dia menemukan banyak pasien kanker di RSKD yang menggunakan sistem KB hormonal menderita kanker payudara. Sebaiknya, dia menambahkan, apabila seseorang ingin menggunakan sistem KB hormonal, minimal harus melakukan USG payudara terlebih dulu. Adapun bila usianya di atas 30 tahun harus melakukan pemeriksaan mamografi.
Remaja putri yang mendapat haid lebih cepat (9 tahun) atau menopause lebih telat (di atas 55 tahun) juga lebih berisiko terpapar kanker payudara. Sutjipto mengatakan, untuk deteksi dini, sebaiknya remaja putri rutin melakukan pemeriksaan payudara sendiri (sadari). "Di usia remaja paling penting lakukan sadari, sambil mandi atau sambil berkaca setiap saat," ujarnya. Namun, memasuki usia 25 tahun atau usia perkawinan, lakukan USG payudara. Di atas 35 tahun atau minimal 40 tahun melakukan mamografi dan USG. Memasuki usia 48 tahun atau pramenopause kembali melakukan mamografi dan USG. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena perubahan tumor jinak menjadi kanker membutuhkan waktu yang lama, sekitar 5-15 tahun, tergantung kondisi seseorang. Bila ditemukan pada fase tumor jinak, keberhasilan pengobatan dan kemampuan bertahan hidup pasien menjadi lebih besar. Ironisnya sebanyak 70 persen pasien yang berobat ke rumah sakit rujukan penyakit kanker di Indonesia datang saat sudah menginjak stadium tiga ke atas. Sehingga tingkat keberhasilan pengobatan dan kemampuan bertahan hidup menjadi lebih rendah.
Saat ini Santi tengah menjalani pengobatan terhadap tumor jinak yang dideritanya. Dari pemantauan dokter, tingkat kesembuhan dan kemampuan bertahan hidup Santi cukup tinggi. Namun, bukan berarti dia akan terbebas selamanya dari ancaman penyakit ini di masa depan. "Walaupun kita sudah membersihkan semua tumornya, dia tidak bisa bebas sepenuhnya. Justru orang yang sudah pernah operasi tumor jinak di kemudian hari berisiko lebih tinggi dibanding mereka yang belum pernah kena bila dia tidak menjaga gaya hidupnya," ia mengungkapkan.
Dari: Marlina Siahaan - TEMPO Interaktif
Post a Comment