Ada seorang pejabat desa yang tengah bingung karena sebagian besar warganya meminta kartu Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) untuk berobat gratis. Padahal, ada di antara mereka yang menurutnya cukup mampu dan tidak bisa dibilang miskin. Apa yang harus dilakukannya? Akhirnya, ia membuat dan memfotokopi beberapa lembar pengumuman, menempelnya di seluruh penjuru lingkungan desa. Bunyinya sederhana:
Dicari: Warga Miskin untuk mendapatkan kartu Askeskin. Syarat dan ketentuan berlaku.
Ia memilih untuk mencantumkan 14 kriteria keluarga miskin buatan Biro Pusat Statistik (BPS), yang apabila terdapat 9 di antaranya, berarti ia termasuk mereka yang bisa sungguh-sungguh disebut miskin.
Berikut sembilan saja di antara kriteria miskin menurut BPS dari empat belas yang ditulis oleh beliau. Pertama, luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Kedua, jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. Ketiga, jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa plester. Keempat, tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri sehingga harus menggunakannya bersama dengan rumah tangga lain. Kelima, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. Keenam sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Ketujuh, bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. Kedelapan, hanya sanggup makan satu/dua kali dalam sehari.
Kriteria terakhir yang tertulis dalam maklumat itu adalah, tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500 ribu. Misalnya sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Saya tidak tahu akhir cerita anekdot itu. Apakah tokoh desa yang bingung itu berhasil atau bahkan gagal total dalam menjaring warga miskin. Tapi, yang jelas rasanya cukup sering saya melihat kegagalan pihak berwenang yang berhak mengeluarkan kartu Askeskin, apalagi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dalam memilah mana warga yang sungguh membutuhkan dan tidak. Akhirnya, merekapun meloloskan masyarakat, yang ironinya memutuskan untuk memiskinkan dirinya demi mendapat pengobatan gratis.
Mereka yang takut miskin ini menelepon sanak saudaranya dari ruang gawat darurat dengan handphone berkamera, anak-anaknya memakai baju bermerk dengan rambut berwarna, serta sang istri mengenakan perhiasan di leher dan tangannya. Sayangnya, mereka menyodorkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari kelurahan untuk membebaskan biaya operasi maupun obat-obatan, menerima pelayanan cuci darah gratis, segala upaya untuk menghindari resiko berkurangnya harta mereka. Tidakkah mereka sadar bahwa sebenarnya mereka telah mengambil jatah saudaranya yang lebih berhak?
Sebaliknya saya pun pernah menemukan seorang pasien, ia miskin, miskin harta sesungguh-sungguhnya. Rasanya, sembilan dari keempat belas kriteria BPS pasti dengan mudah ditemukan. Tapi hatinya kaya dan penuh harga diri, karena saat seseorang bertanya padanya, “Kenapa Bapak tidak mencari kartu sehat (nama lain dari kartu Askeskin beberapa tahun lalu), hingga Bapak bisa mendapat pengobatan gratis untuk penyakit Bapak?” Beliau menjawab dalam bahasa jawa, “Matur nuwun, tapi saya masih bisa bekerja, dan saya kira masih ada yang lebih miskin dan lebih berhak dari saya.”
Matanya jernih, senyumnya berlapis cahya. Tapi, manusia seperti ini amat sangat langka. Terbukti saya hanya pernah bertemu sekali saja sepanjang karir saya.
Di lain pihak beberapa surat keterangan kematian juga pernah dengan sedih (bahkan kadang dengan memendam rasa bersalah) saya tanda tangani, dan hal ini terjadi karena almarhum tidak mendapat pengobatan yang semestinya. Padahal, mereka adalah kaum miskin sesungguh-sungguhnya tapi tak berhasil memiliki kartu Askeskin. Dan saat SKTM masih berlaku beberapa waktu lalu, mereka pun juga gagal mendapatkannya.
Akibatnya, mereka yang sebenarnya berhak ini tak mampu mendapatkan obat-obatan, begitu pula dengan tindakan medis yang seharusnya dilakukan. Derita tak terselesaikan itupun menghancurkan kehidupan dan menghadirkan Izrail di bangsal rumah sakit. Di saat seperti itu saya selalu berpikir, apakah nyawa manusia tergantung pada jumlah ribuan dalam dompetnya?
Sebelum SK Menkes No 417/2007 bulan Juli ini berjalan, saat pasien Askeskin tengah “jaya-jayanya”, beberapa pasien dengan fasilitas Askes pegawai negeri sipil (PNS) pun kadang mengeluh kepada saya. “Dok, mengapa mereka bisa mendapatkan obat-obatan yang jauh lebih baik dari saya? Mengapa kami yang sudah berpuluh tahun mengabdi kepada negara, dipotong gaji tiap bulan, tidak bisa mendapatkan obat-obatan semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit kami? Mengapa mereka bisa mendapatkan obat seharga Rp 300 ribu sekali suntik? Mengapa mereka bisa mendapatkan obat seharga Rp 25 ribu sehari selama sebulan penuh, asalkan rajin datang tiap lima hari sekali? Tidakkah kami sama-sama miskin karena gaji saya sebagai pensiunan pun hanya berkisar Rp 1 juga sebulan, terpaksa naik angkot tiap kali kontrol ke poliklinik, sedangkan mereka memiliki sepeda motor? Haruskah saya berpindah mengikuti Askeskin saja?”
Saya terdiam, karena saya tahu ada banyak tangan yang bermain atas nama kemiskinan. Ada banyak mata yang berharap agar sebanyak mungkin uang bisa dikeluarkan dari kantong pemerintah, dan ada beberapa industri yang diuntungkan dari dana Askeskin yang melimpah. Pun juga ada banyak kepala yang takut akan cercaan tetangganya. Selain ada harga diri manusia yang memilih disebut miskin daripada mengeluarkan hartanya.
Askeskin memang menjadi jalan keluar bagi kaum dhuafa untuk mendapatkan pengobatan, terutama karena menjadi tugas negara untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warganya. Tapi, seperti yang sudah banyak dibicarakan, usaha agar pelayanan ini jatuh ke tangan yang berhak adalah salah satu prioritas utama Pemerintah saat ini. Dan penggunaan data masyarakat miskin dari BPS adalah salah satu cara agar dana Askeskin yang bisa dipandang setara dana “zakat dan sedekah” ini benar-benar diterima oleh mereka yang berhak.
Meski diprotes oleh banyak pihak, SK Menkes yang terbaru pastilah keluar dengan alasan yang cukup kuat. Pembengkakan anggaran adalah salah satu alasannya. Dan membengkaknya anggaran yang salah satunya adalah karena penggunaan obat mahal adalah salah satu cermin kusam bagi dunia kedokteran di Indonesia. Akankah kita belajar dari cermin itu? Atau malah menghancurkannya?
Saya ingat dengan kata-kata seorang guru besar Unair, yang selalu mengingatkan muridnya untuk menangani pasien secara holistik, secara menyeluruh, termasuk dengan melihat kekuatan finansial pasiennya. Ini berarti tidak semua obat terbaru yang berharga mahal harus diresepkan. Tidak semua penelitian dan guideline yang dianggap “sahih” di luar negeri bisa diterapkan di Indonesia, apalagi jika dalam penelitian itu tersembunyi kekuatan kapitalisme industri farmasi yang kadang bisa sangat membujuk.
Di dunia yang saat ini hati nurani berharga sangat mahal, keluarnya SK Menkes No 417/2007 mungkin adalah satu momentum agar kita, masyarakat dan penyelenggara pelayanan kesehatan, berkaca. Karena orang miskin yang sesungguhnya bukanlah seorang tukang becak perantau yang terpaksa makan dua kali sehari tapi bersyukur karena masih ada yang bernasib lebih buruk darinya, dan karenanya bisa tidur berliur di atas becak berselimut sarung.
Orang miskin yang sesungguhnya adalah mereka yang gelisah karena masih merasa kurang dengan apa yang dimilikinya hari ini, dan akibatnya kadang terpaksa melupakan hati nurani guna memenuhi apa yang disebut kebutuhan hidup.
Kalau saja kalimat di atas yang menjadi kriteria penerima Askeskin, sepertinya masih banyak orang yang memang masuk dalam barisan kaum miskin di Indonesia, dan celakanya itu termasuk saya. Karenanya, saat ini saya tengah belajar untuk menjadi kaya, karena saya tidak ingin mati dan dikubur sebagai orang miskin. Apalagi jika rasa miskin itu nantinya harus diwarisi oleh anak-anak saya. Bagaimana dengan Anda?
M.Yusuf Suseno
Dokter umum, tinggal di Surabaya.
Ia memilih untuk mencantumkan 14 kriteria keluarga miskin buatan Biro Pusat Statistik (BPS), yang apabila terdapat 9 di antaranya, berarti ia termasuk mereka yang bisa sungguh-sungguh disebut miskin.
Berikut sembilan saja di antara kriteria miskin menurut BPS dari empat belas yang ditulis oleh beliau. Pertama, luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Kedua, jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. Ketiga, jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa plester. Keempat, tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri sehingga harus menggunakannya bersama dengan rumah tangga lain. Kelima, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. Keenam sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Ketujuh, bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. Kedelapan, hanya sanggup makan satu/dua kali dalam sehari.
Kriteria terakhir yang tertulis dalam maklumat itu adalah, tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500 ribu. Misalnya sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Saya tidak tahu akhir cerita anekdot itu. Apakah tokoh desa yang bingung itu berhasil atau bahkan gagal total dalam menjaring warga miskin. Tapi, yang jelas rasanya cukup sering saya melihat kegagalan pihak berwenang yang berhak mengeluarkan kartu Askeskin, apalagi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dalam memilah mana warga yang sungguh membutuhkan dan tidak. Akhirnya, merekapun meloloskan masyarakat, yang ironinya memutuskan untuk memiskinkan dirinya demi mendapat pengobatan gratis.
Mereka yang takut miskin ini menelepon sanak saudaranya dari ruang gawat darurat dengan handphone berkamera, anak-anaknya memakai baju bermerk dengan rambut berwarna, serta sang istri mengenakan perhiasan di leher dan tangannya. Sayangnya, mereka menyodorkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari kelurahan untuk membebaskan biaya operasi maupun obat-obatan, menerima pelayanan cuci darah gratis, segala upaya untuk menghindari resiko berkurangnya harta mereka. Tidakkah mereka sadar bahwa sebenarnya mereka telah mengambil jatah saudaranya yang lebih berhak?
Sebaliknya saya pun pernah menemukan seorang pasien, ia miskin, miskin harta sesungguh-sungguhnya. Rasanya, sembilan dari keempat belas kriteria BPS pasti dengan mudah ditemukan. Tapi hatinya kaya dan penuh harga diri, karena saat seseorang bertanya padanya, “Kenapa Bapak tidak mencari kartu sehat (nama lain dari kartu Askeskin beberapa tahun lalu), hingga Bapak bisa mendapat pengobatan gratis untuk penyakit Bapak?” Beliau menjawab dalam bahasa jawa, “Matur nuwun, tapi saya masih bisa bekerja, dan saya kira masih ada yang lebih miskin dan lebih berhak dari saya.”
Matanya jernih, senyumnya berlapis cahya. Tapi, manusia seperti ini amat sangat langka. Terbukti saya hanya pernah bertemu sekali saja sepanjang karir saya.
Di lain pihak beberapa surat keterangan kematian juga pernah dengan sedih (bahkan kadang dengan memendam rasa bersalah) saya tanda tangani, dan hal ini terjadi karena almarhum tidak mendapat pengobatan yang semestinya. Padahal, mereka adalah kaum miskin sesungguh-sungguhnya tapi tak berhasil memiliki kartu Askeskin. Dan saat SKTM masih berlaku beberapa waktu lalu, mereka pun juga gagal mendapatkannya.
Akibatnya, mereka yang sebenarnya berhak ini tak mampu mendapatkan obat-obatan, begitu pula dengan tindakan medis yang seharusnya dilakukan. Derita tak terselesaikan itupun menghancurkan kehidupan dan menghadirkan Izrail di bangsal rumah sakit. Di saat seperti itu saya selalu berpikir, apakah nyawa manusia tergantung pada jumlah ribuan dalam dompetnya?
Sebelum SK Menkes No 417/2007 bulan Juli ini berjalan, saat pasien Askeskin tengah “jaya-jayanya”, beberapa pasien dengan fasilitas Askes pegawai negeri sipil (PNS) pun kadang mengeluh kepada saya. “Dok, mengapa mereka bisa mendapatkan obat-obatan yang jauh lebih baik dari saya? Mengapa kami yang sudah berpuluh tahun mengabdi kepada negara, dipotong gaji tiap bulan, tidak bisa mendapatkan obat-obatan semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit kami? Mengapa mereka bisa mendapatkan obat seharga Rp 300 ribu sekali suntik? Mengapa mereka bisa mendapatkan obat seharga Rp 25 ribu sehari selama sebulan penuh, asalkan rajin datang tiap lima hari sekali? Tidakkah kami sama-sama miskin karena gaji saya sebagai pensiunan pun hanya berkisar Rp 1 juga sebulan, terpaksa naik angkot tiap kali kontrol ke poliklinik, sedangkan mereka memiliki sepeda motor? Haruskah saya berpindah mengikuti Askeskin saja?”
Saya terdiam, karena saya tahu ada banyak tangan yang bermain atas nama kemiskinan. Ada banyak mata yang berharap agar sebanyak mungkin uang bisa dikeluarkan dari kantong pemerintah, dan ada beberapa industri yang diuntungkan dari dana Askeskin yang melimpah. Pun juga ada banyak kepala yang takut akan cercaan tetangganya. Selain ada harga diri manusia yang memilih disebut miskin daripada mengeluarkan hartanya.
Askeskin memang menjadi jalan keluar bagi kaum dhuafa untuk mendapatkan pengobatan, terutama karena menjadi tugas negara untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warganya. Tapi, seperti yang sudah banyak dibicarakan, usaha agar pelayanan ini jatuh ke tangan yang berhak adalah salah satu prioritas utama Pemerintah saat ini. Dan penggunaan data masyarakat miskin dari BPS adalah salah satu cara agar dana Askeskin yang bisa dipandang setara dana “zakat dan sedekah” ini benar-benar diterima oleh mereka yang berhak.
Meski diprotes oleh banyak pihak, SK Menkes yang terbaru pastilah keluar dengan alasan yang cukup kuat. Pembengkakan anggaran adalah salah satu alasannya. Dan membengkaknya anggaran yang salah satunya adalah karena penggunaan obat mahal adalah salah satu cermin kusam bagi dunia kedokteran di Indonesia. Akankah kita belajar dari cermin itu? Atau malah menghancurkannya?
Saya ingat dengan kata-kata seorang guru besar Unair, yang selalu mengingatkan muridnya untuk menangani pasien secara holistik, secara menyeluruh, termasuk dengan melihat kekuatan finansial pasiennya. Ini berarti tidak semua obat terbaru yang berharga mahal harus diresepkan. Tidak semua penelitian dan guideline yang dianggap “sahih” di luar negeri bisa diterapkan di Indonesia, apalagi jika dalam penelitian itu tersembunyi kekuatan kapitalisme industri farmasi yang kadang bisa sangat membujuk.
Di dunia yang saat ini hati nurani berharga sangat mahal, keluarnya SK Menkes No 417/2007 mungkin adalah satu momentum agar kita, masyarakat dan penyelenggara pelayanan kesehatan, berkaca. Karena orang miskin yang sesungguhnya bukanlah seorang tukang becak perantau yang terpaksa makan dua kali sehari tapi bersyukur karena masih ada yang bernasib lebih buruk darinya, dan karenanya bisa tidur berliur di atas becak berselimut sarung.
Orang miskin yang sesungguhnya adalah mereka yang gelisah karena masih merasa kurang dengan apa yang dimilikinya hari ini, dan akibatnya kadang terpaksa melupakan hati nurani guna memenuhi apa yang disebut kebutuhan hidup.
Kalau saja kalimat di atas yang menjadi kriteria penerima Askeskin, sepertinya masih banyak orang yang memang masuk dalam barisan kaum miskin di Indonesia, dan celakanya itu termasuk saya. Karenanya, saat ini saya tengah belajar untuk menjadi kaya, karena saya tidak ingin mati dan dikubur sebagai orang miskin. Apalagi jika rasa miskin itu nantinya harus diwarisi oleh anak-anak saya. Bagaimana dengan Anda?
M.Yusuf Suseno
Dokter umum, tinggal di Surabaya.
Dari Author:
Baca juga tulisan senada oleh Ruri di simplyblue dan relevans artikel di Voice Of Human Right
Post a Comment