Hukum Praktik Kedokteran dinilai mengkriminalkan praktik dokter. Kesalahan administrasi sebab dokter melanggar praktik di lebih dari tiga tempat, misalnya, eloknya tak diganjar hukuman penjara. Sejatinya alasan pembatasan praktik dokter demi kebaikan dokter dan agar pasien tak sampai dirugikan.
Apa yang terjadi di lapangan? Di mana-mana di dunia, masalah medis dan kesehatan berhulu dari tiga anasir. (1) Buruknya hubungan dokter-pasien; (2) tak tepatnya memilih sistem layanan kesehatan yang dianut, dan; (3) kondisi pranata kesehatan masyarakat. Masing-masing membawa kendala dan masalahnya sendiri.
Sengketa dokter-pasien bukan terbatas lantaran hadirnya kesenjangan kompetensi, melainkan oleh ihwal nonmedis-nonteknis yang berawal dari soal akhlak. Akhlak milik pihak dokter dan akhlak yang dibawa pasien serta masyarakat. Akhlak dokter memunculkan sikap kesewenang-wenangan terhadap pasien karena dokter memiliki otonomi tinggi dalam mengobati pasien. Saat yang sama hadir gugatan pasien yang celakanya melampaui akal sehat medis.
Montir dan mobil
Sebut sikap masyarakat menuduh setiap ihwal kerugian yang dipikul pasien, kesalahan serta-merta menohok pihak pemberi layanan. Tuduhan pralegal untuk kasus dugaan malapraktik muncul karena terbatasnya akal sehat medis masyarakat. Di sisi lain, masyarakat mendudukkan posisi dokter sebagai montir. Dokter pun memperlakukan pasien seperti mobil di bengkel. Padahal, transaksi terapeutik punya karakter berbeda. Dalam mengobati pasien, tak boleh dan tak bisa ada janji pasti sembuh. Dalam sumpah dan janji profesi, dokter tidak boleh melaba. Namun, dalam praktik, dokter bersinggungan dengan industri farmasi dan obat, selain dengan industri rumah sakit yang membolehkan dokter memetik profit. Itu berpotensi merongrong moral dokter.
Rasa rancu profesi dan goyah moral yang dihadapi dokter pada ujungnya tak menguntungkan pihak pasien. Profesi dokter harus diingatkan bahwa pekerjaannya tergolong bisnis moral. Supaya rasa mengabdi dan sikap altruisme dokter terjaga, karisma dan disiplin profesi tak boleh bersanding atau disandingkan dengan karisma dan disiplin manajerial rumah sakit. Pasien harus bayar dulu sebelum berobat (prepaid services), misalnya, bukan lahir dari sikap etik seorang dokter, tetapi dari manajemen rumah sakit yang orientasinya merasa sah berpikir efisiensi dan layak berhitung untung-rugi.
Kalau saja dokter mengamalkan sumpah dokter dan sumpah jabatan, serta kode etik profesi dokter (Kode Etik Kedokteran Indonesia) tidak lumpuh, kesewenang-wenangan dokter terhadap pasien tak perlu terjadi. Demikian pula jika masyarakat sudah cerdas mengkritisi, layanan medis dan kesehatan berpihak kepada si penerima jasa (client), masyarakat bisa arif memahami betapa tak sederhananya menyembuhkan penyakit. Bahwa kesalahan medis teknis harus dilihat pasien sebagai risiko profesi karena tubuh manusia bukan mesin dan dokter bukan malaikat.
Moralitas profesi
Sejak awal, peran, fungsi, dan pekerjaan dokter sudah dipagari rambu etika dan moralitas profesi, selain kerangkeng hukum (Undang-Undang Nomor 23/92). Sumpah dokter, sumpah jabatan, dan kode etik kedokteran dibuat demi menjaga martabat dokter, melindungi masyarakat, dan meningkatkan kualitas layanan, selain ada kepastian hukum. Puluhan tahun berlalu. Gugatan dan tuntutan medis belum juga reda. Lalu, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia pun dilahirkan. Namun, nyatanya perseteruan dan gugatan medis masih tetap ada.
Pagar hukum agar dokter bekerja profesional, berhati nurani, ternyata belum dirasa cukup. Lalu, dimunculkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Nomor 8/99). Karena dengan tambahan hukum itu pun masih ada dokter bandel, dipandang perlu pemerintah membidani UU Praktik Kedokteran (Permenkes No 1419/05). Kita melihat ada duplikasi hukum ketika Undang-Undang No 23/92 dianggap mandul karena baru sebagian kecil yang diberi gigi.
Tak mudah mengurusi profesi dokter
Tak ringan melakukan koreksi akhlak dokter kalau telanjur menceng. Otonomi profesi dokter sendiri kelewat tinggi. Sistem layanan kesehatan kita menduakan pikiran dokter karena hidup dari gaji saja tak cukup. Sedangkan kondisi masyarakat masih subordinat di hadapan pekerjaan dokter. Maka, masih menyimpan masalah. Keinsafan setiap dokter untuk mengamalkan etika dan moral sebagai bagian dari profesi belum sepenuhnya tumbuh. Penyebab tunggalnya karena rata-rata sekolah dokter tidak mengutamakan pendidikan etika medik, selain kendali masyarakat pasien terhadap profesi layanan medis masih belum perkasa.
Otonomi pasien
Kalau saja setiap medikus-praktikus mengamalkan semua yang baik-bagus-benar itu dan mengekang semua yang kebalikannya, kemunculan dilema medis dan kesehatan bisa digagalkan. Duplikasi hukum tak perlu ada sekiranya setiap dokter tunduk tidak melompati pagar sumpah, janji, dan kode etik profesi. Selain itu, di hadapan dokter harus hadir otonomi pasien juga. Hak pasien perlu diangkat, selain kewajiban pasien kembali diinsafi. Perselisihan dokter-pasien muncul karena pada tiap-tiap pihak tak jelas menghadirkan hak maupun kewajibannya. Lain dari itu, sebagian kecil saja pasien bisa membayar (fee for service) di "jalur cepat" (nonpuskesmas). Sebagian besar masih bergelut dengan lingkaran setan ekonomi lemah, kurang gizi, dan sanitasi buruk yang lebih membutuhkan upaya kesehatan preventif ketimbang belanja obat. Masih lebih membutuhkan air bersih, jamban keluarga, perbaikan selokan, dan penyuluhan gizi ketimbang iptek medis tinggi sebagaimana yang diminta orang mampu di perkotaan.
Kehadiran layanan "jalur cepat" untuk pasien berpunya dan "jalur lambat" untuk pasien kebanyakan menimbulkan kecemburuan sosial. Ini menambah runyam tuntutan pasien karena masyarakat di pinggir industri medis kota-kota besar tak selalu mampu berobat setiap kali sakit. Agar otonomi dokter tidak kelewat tinggi, sistem kontrol pasien harus dijadikan andalan. Oleh karena di depan hukum dokter masih mungkin berkelit, wawasan medis dan pengetahuan kesehatan masyarakat perlu cerdas membekuk dokter nakal. Peran puskesmas amat besar dalam mencerdaskan warga.
Penyuluhan (komunikasi-informasi-edukasi) kesehatan harus tetap menjadi kegiatan puskesmas paling memberdayakan masyarakat di layanan "jalur lambat". Masyarakat yang ditargetkan tidak sudi di-apa-bagaimanakan saja oleh pihak pemberi layanan medis. Untuk itu, puskesmas perlu direvitalisasi. Adapun masyarakat perkotaan perlu diberdayakan pula agar arif membaca akal sehat medis. Di pojok sini sisi layanan medis sering digugat atau berisiko menimbulkan salah sangka publik terhadap pekerjaan medis, kalau masyarakat dibiarkan masih tak cerdas dan bersikap kritis. Untuk menyehatkan masyarakat, sejatinya tak perlu dokter dikriminalisasi dengan ongkos hukum semahal itu.
Handrawan Nadesul; Dokter
Apa yang terjadi di lapangan? Di mana-mana di dunia, masalah medis dan kesehatan berhulu dari tiga anasir. (1) Buruknya hubungan dokter-pasien; (2) tak tepatnya memilih sistem layanan kesehatan yang dianut, dan; (3) kondisi pranata kesehatan masyarakat. Masing-masing membawa kendala dan masalahnya sendiri.
Sengketa dokter-pasien bukan terbatas lantaran hadirnya kesenjangan kompetensi, melainkan oleh ihwal nonmedis-nonteknis yang berawal dari soal akhlak. Akhlak milik pihak dokter dan akhlak yang dibawa pasien serta masyarakat. Akhlak dokter memunculkan sikap kesewenang-wenangan terhadap pasien karena dokter memiliki otonomi tinggi dalam mengobati pasien. Saat yang sama hadir gugatan pasien yang celakanya melampaui akal sehat medis.
Montir dan mobil
Sebut sikap masyarakat menuduh setiap ihwal kerugian yang dipikul pasien, kesalahan serta-merta menohok pihak pemberi layanan. Tuduhan pralegal untuk kasus dugaan malapraktik muncul karena terbatasnya akal sehat medis masyarakat. Di sisi lain, masyarakat mendudukkan posisi dokter sebagai montir. Dokter pun memperlakukan pasien seperti mobil di bengkel. Padahal, transaksi terapeutik punya karakter berbeda. Dalam mengobati pasien, tak boleh dan tak bisa ada janji pasti sembuh. Dalam sumpah dan janji profesi, dokter tidak boleh melaba. Namun, dalam praktik, dokter bersinggungan dengan industri farmasi dan obat, selain dengan industri rumah sakit yang membolehkan dokter memetik profit. Itu berpotensi merongrong moral dokter.
Rasa rancu profesi dan goyah moral yang dihadapi dokter pada ujungnya tak menguntungkan pihak pasien. Profesi dokter harus diingatkan bahwa pekerjaannya tergolong bisnis moral. Supaya rasa mengabdi dan sikap altruisme dokter terjaga, karisma dan disiplin profesi tak boleh bersanding atau disandingkan dengan karisma dan disiplin manajerial rumah sakit. Pasien harus bayar dulu sebelum berobat (prepaid services), misalnya, bukan lahir dari sikap etik seorang dokter, tetapi dari manajemen rumah sakit yang orientasinya merasa sah berpikir efisiensi dan layak berhitung untung-rugi.
Kalau saja dokter mengamalkan sumpah dokter dan sumpah jabatan, serta kode etik profesi dokter (Kode Etik Kedokteran Indonesia) tidak lumpuh, kesewenang-wenangan dokter terhadap pasien tak perlu terjadi. Demikian pula jika masyarakat sudah cerdas mengkritisi, layanan medis dan kesehatan berpihak kepada si penerima jasa (client), masyarakat bisa arif memahami betapa tak sederhananya menyembuhkan penyakit. Bahwa kesalahan medis teknis harus dilihat pasien sebagai risiko profesi karena tubuh manusia bukan mesin dan dokter bukan malaikat.
Moralitas profesi
Sejak awal, peran, fungsi, dan pekerjaan dokter sudah dipagari rambu etika dan moralitas profesi, selain kerangkeng hukum (Undang-Undang Nomor 23/92). Sumpah dokter, sumpah jabatan, dan kode etik kedokteran dibuat demi menjaga martabat dokter, melindungi masyarakat, dan meningkatkan kualitas layanan, selain ada kepastian hukum. Puluhan tahun berlalu. Gugatan dan tuntutan medis belum juga reda. Lalu, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia pun dilahirkan. Namun, nyatanya perseteruan dan gugatan medis masih tetap ada.
Pagar hukum agar dokter bekerja profesional, berhati nurani, ternyata belum dirasa cukup. Lalu, dimunculkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Nomor 8/99). Karena dengan tambahan hukum itu pun masih ada dokter bandel, dipandang perlu pemerintah membidani UU Praktik Kedokteran (Permenkes No 1419/05). Kita melihat ada duplikasi hukum ketika Undang-Undang No 23/92 dianggap mandul karena baru sebagian kecil yang diberi gigi.
Tak mudah mengurusi profesi dokter
Tak ringan melakukan koreksi akhlak dokter kalau telanjur menceng. Otonomi profesi dokter sendiri kelewat tinggi. Sistem layanan kesehatan kita menduakan pikiran dokter karena hidup dari gaji saja tak cukup. Sedangkan kondisi masyarakat masih subordinat di hadapan pekerjaan dokter. Maka, masih menyimpan masalah. Keinsafan setiap dokter untuk mengamalkan etika dan moral sebagai bagian dari profesi belum sepenuhnya tumbuh. Penyebab tunggalnya karena rata-rata sekolah dokter tidak mengutamakan pendidikan etika medik, selain kendali masyarakat pasien terhadap profesi layanan medis masih belum perkasa.
Otonomi pasien
Kalau saja setiap medikus-praktikus mengamalkan semua yang baik-bagus-benar itu dan mengekang semua yang kebalikannya, kemunculan dilema medis dan kesehatan bisa digagalkan. Duplikasi hukum tak perlu ada sekiranya setiap dokter tunduk tidak melompati pagar sumpah, janji, dan kode etik profesi. Selain itu, di hadapan dokter harus hadir otonomi pasien juga. Hak pasien perlu diangkat, selain kewajiban pasien kembali diinsafi. Perselisihan dokter-pasien muncul karena pada tiap-tiap pihak tak jelas menghadirkan hak maupun kewajibannya. Lain dari itu, sebagian kecil saja pasien bisa membayar (fee for service) di "jalur cepat" (nonpuskesmas). Sebagian besar masih bergelut dengan lingkaran setan ekonomi lemah, kurang gizi, dan sanitasi buruk yang lebih membutuhkan upaya kesehatan preventif ketimbang belanja obat. Masih lebih membutuhkan air bersih, jamban keluarga, perbaikan selokan, dan penyuluhan gizi ketimbang iptek medis tinggi sebagaimana yang diminta orang mampu di perkotaan.
Kehadiran layanan "jalur cepat" untuk pasien berpunya dan "jalur lambat" untuk pasien kebanyakan menimbulkan kecemburuan sosial. Ini menambah runyam tuntutan pasien karena masyarakat di pinggir industri medis kota-kota besar tak selalu mampu berobat setiap kali sakit. Agar otonomi dokter tidak kelewat tinggi, sistem kontrol pasien harus dijadikan andalan. Oleh karena di depan hukum dokter masih mungkin berkelit, wawasan medis dan pengetahuan kesehatan masyarakat perlu cerdas membekuk dokter nakal. Peran puskesmas amat besar dalam mencerdaskan warga.
Penyuluhan (komunikasi-informasi-edukasi) kesehatan harus tetap menjadi kegiatan puskesmas paling memberdayakan masyarakat di layanan "jalur lambat". Masyarakat yang ditargetkan tidak sudi di-apa-bagaimanakan saja oleh pihak pemberi layanan medis. Untuk itu, puskesmas perlu direvitalisasi. Adapun masyarakat perkotaan perlu diberdayakan pula agar arif membaca akal sehat medis. Di pojok sini sisi layanan medis sering digugat atau berisiko menimbulkan salah sangka publik terhadap pekerjaan medis, kalau masyarakat dibiarkan masih tak cerdas dan bersikap kritis. Untuk menyehatkan masyarakat, sejatinya tak perlu dokter dikriminalisasi dengan ongkos hukum semahal itu.
Handrawan Nadesul; Dokter
Post a Comment