Merokok dapat meningkatkan resiko Kanker Payudara

Bagi mayoritas orang, vonis kanker bisa berarti akhir dari segalanya, seolah jalan kematian terbuka di depan mata. Kemajuan teknologi medis padahal memungkinkan kanker bisa dideteksi lebih awal dan penyebaran sel kanker bisa dihambat lebih cepat sehingga usia harapan hidup pun lebih panjang. Selain itu, kemauan untuk hidup merupakan terapi utama dari pengobatan kanker. Seorang perempuan usia 30-an memegang mike dengan tangan gemetar, mengatakan bahwa ia telah menjalani mastektomi (operasi pengangkatan payudara) akibat kanker yang dideritanya.

Meski semua kerabat dan dokter mengatakan bahwa usia adalah urusan Tuhan, tak urung ia sangat takut dengan datangnya kematian itu. ”Saya berharap ada support group yang bisa saling membantu dan menguatkan untuk menghadapi derita ini,” ujarnya dengan suara menahan tangis dalam diskusi terbuka tentang pengobatan kanker payudara yang digelar Rumah Sakit Kanker Dharmais di Jakarta baru-baru ini.

Ia memang tak hendak bertanya kepada pembicara, seorang dokter yang merupakan salah satu pakar kanker di RS Dharmais. Ia hanya ingin mengeluh, seperti mayoritas perempuan lainnya yang hadir dalam forum tersebut, mengenai kanker payudara yang menggerogoti kesehatan mereka. Namun tak urung, dr. Sutjipto, Sp.B.Onk yang menjadi nara sumber diskusi tersebut mengatakan bahwa pernyataan ” usia adalah urusan Tuhan” memang hal paling jujur yang dikatakan dokter. Menurut Sutjipto, hingga saat ini, penyebab kanker belum diketahui secara pasti.

Karena itu, upaya pencegahan sebenarnya juga tidak ada. Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan adalah menemukan kanker payudara sedini mungkin sehingga terapi yang dilakukan bisa membantu seseorang untuk memperpanjang usia harapan hidup. ”Mati bisa terjadi kapan saja dan tak perlu harus menderita kanker,” ujar Sutjipto serius. Lelaki berkaca mata ini juga mengatakan bahwa ada beberapa pasien kanker payudara yang sembuh sama sekali setelah dilakukan mastektomi.

Ini terjadi karena anak sebar dari sel kanker tersebut tidak ada. Sehingga begitu dilakukan mastektomi, sel kanker tersebut benar-benar hilang. Meski begitu, ia mengakui sel kanker adalah sel yang unik. Pernah ada suatu kasus di mana pasien yang telah diangkat sel kankernya 20 tahun lalu mendadak datang ke ruang praktiknya dan mengeluhkan rasa sakit. Kemudian ditemukan bahwa sel kanker yang telah lenyap 20 tahun lalu muncul lagi di tempat yang berbeda. ”Kami menyebutnya double primer,” ujar Sutjipto. Hingga saat ini, frekuensi kanker payudara mencapai angka 20 persen dari seluruh penyakit kanker. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar 7 juta. Survei terakhir di dunia menunjukkan tiap 3 menit ditemukan penderita kanker payudara dan setiap 11 menit ditemukan seorang perempuan meninggal akibat kanker payudara. Sementara di Indonesia, rata-rata penderita kanker payudara adalah 10 dari 100 ribu perempuan, menjadikan penyakit ini berada di urutan kedua penyakit kanker yang kerap ditemukan setelah kanker mulut rahim.

Western Therapy
Menurut Sutjipto, sekitar 70 persen pasien kanker payudara datang ke rumah sakit berada pada kondisi stadium lanjut. Penyebab eterlambatan penderita datang ke dokter ini, antara lain takut operasi, percaya pada pengobatan tradisional atau paranormal dan faktor ekonomi atau ketiadaaan biaya. ”Padahal makin tinggi stadiumnya maka kemungkinan sembuh akan turun hingga 15 persen,” demikian Sutjipto. Ia menambahkan bahwa perempuan tidak boleh meremehkan jika ada benjolan di payudaranya. Meski tidak semua benjolan di payudara berarti kanker, tapi tidak ada salahnya untuk melakukan pemeriksaan sehingga bisa dipastikan dan cepat ditangani.

Selain benjolan, hal lain yang perlu dicurigai adalah kista pada payudara disertai keluar cairan dari puting susu. Dikuatkan dengan penemuan tanda-tanda penyebaran sel kanker saat diperiksa dengan USG atau mamografi. Bahkan dari pengalaman, Sutjipto bisa memastikan sebuah benjolan pada payudara merupakan kanker atau bukan hanya lewat sentuhan. ”Jika benjolan tersebut dipegang dan terasa keras seperti kentang atau bakso yang berada dalam kulkas, maka bisa dipastikan benjolan tersebut adalah kanker,” jelasnya. Jika sel kanker berada pada stadium dini hingga stadium 3 maka terapi yang dilakukan berupa pembedahan, kemoterapi (pemberian obat antikanker), terapi radiasi atau hormonal.

”Tapi jika sudah mencapai stadium 4, kita tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali kemoterapi dan radiasi,” demikian Sutjipto. Sampai pertengahan abad ke-19, pengobatan kanker payudara dilakukan hanya dengan pengangkatan tumor saja dan terbukti tidak efektif. Rata-rata penderita meninggal pada tahun pertama atau kambuh lagi. Tahun 1863, ilmuwan Inggris dr. Sir James Paget menyarankan tindakan pembedahan yang lebih luas, tapi cara ini juga tidak berhasil. Kemudian antara tahun 1875-1882, Dr Charles H. Moore melakukan terapi dengan mengangkat seluruh jaringan payudara, populer dengan istilah mastektomi. ”Tapi ini pun belum berhasil karena sel kanker masih tumbuh lagi di ketiak hingga tulang belikat,” jelas Sutjipto.

Tahun 1875-1882, terapi dilakukan dengan mastektomi dan pengangkatan kelenjar getah bening di ketiak. Saat terapi tersebut tak juga berhasil, Dr Wilham Halsted muncul dengan ide mastektomi radikal pada tahun 1882. Operasi mastektomi radikal ini tak hanya mengangkat seluruh jaringan payudara, tapi juga jaringan otot di bagian belakang payudara. Hasilnya, kulit menjadi sangat tipis hingga tulang iga terlihat oleh mata telanjang. Menurut Sutjipto, efek samping dari mastektomi radikal ini adalah tangan menjadi besar. Syukurlah, ”cerita seram” Halsted tersebut kini tak perlu terjadi sejak ditemukan teknologi radioterapi sekitar tahun 1940-an. Para pasien kanker payudara ”hanya” perlu menjalani mastektomi biasa diikuti dengan terapi radiasi pascapembedahan. Ditambah pula, penemuan obat antikanker sejak 25 tahun lalu telah mampu mengurangi kemungkinan kambuhnya kanker.

Sejak tahun 1980-an, kanker payudara stadium dini hingga stadium 2 mendapatkan terapi pembedahan yang diteruskan dengan pemberian radiasi, dikenal dengan istilah breast conserving therapy. Juga muncul metode sentinel node untuk kanker payudara stadium dini, yakni metode pembedahan tanpa perlu mengangkat seluruh jaringan payudara. Menariknya, dalam sentinel node, sebelum tindak pembedahan dilakukan metode untuk menentukan kelenjar getah bening yang sudah terkena sel kanker. Menurut Sutjipto, hal ini membuat tindak pembedahan lebih terarah dan tidak semua kelenjar getah bening diangkat sehingga mengurangi efek samping. Setelah pembedahan dilanjutkan dengan radiasi dan kemoterapi.

Sementara jika sel kanker telah memasuki stadium 3, satu-satunya tindakan yang bisa dilakukan adalah mastektomi, kemudian diikuti dengan kemoterapi dan radiasi. Namun Sutjipto menambahkan bahwa pihaknya tidak melarang jika seorang pasien kanker payudara melakukan Eastern Therapy, yakni pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan atau formula terapi lainnya yang diyakini bisa menyembuhkan. ”Jika ia yakin dengan terapi itu, silakan saja,”katanya. Namun selain menjalani terapi tradisional, sebaiknya pasien juga melakukan terapi pengobatan medis, populer dengan istilah Western Therapy. Karena dengan terapi medis, setidaknya dokter bisa menelusuri secara ilmiah penyebaran sel kanker tersebut dan melakukan formula pengobatan yang sudah diuji kebenarannya. ”Sampai sekarang, belum ada kasus di mana pengobatan medis berbenturan dengan pengobatan tradisional,” demikian Sutjipto. (San/Sinar Harapan)

Baca juga Penjelasan Pemerintah Tentang Rokok


Post a Comment

Info Farmasi/Obat Kanker